SEKOLAH Pemikiran Islam
(SPI) #IndonesiaTanpaJIL kembali menggelar perkuliahannya yang kedelapan pada
hari Selasa (28/04/2015) di aula Mi’raj Tours & Travel, Bandung.
Perkuliahan yang telah berlangsung sejak bulan Maret ini membahas tema
“Dekonstruksi Wahyu” dan dihadiri oleh lebih dari 30 orang pesertanya.
Dr. Nashruddin Syarief,
penulis buku “Islam Tanpa Sesat”, membuka perkuliahan dengan prolog mendalam
mengenai konsep wahyu yang telah didekonstruksi dan urgensi mempelajarinya
untuk menangkal pemahaman yang diinisiasi oleh Barat. “Hari ini nyaris
disepakati doktrin yang berasal dari filsafat hermeneutika. Mereka mendoktrin
bahwa mustahil firman di langit itu turun secara utuh ke dunia. Teori ini
kemudian diserap oleh para cendekiawan muslim di Indonesia lalu dicari dalil
dan pembenarannya dari doktrin-doktrin Islam menurut mereka,” papar Nashruddin.
Contoh kasus dalam
masalah ini, menurut Nashruddin, dapat dilihat dalam disertasi Aksin Wijaya
yang berjudul Arah Baru Studi Ulum Al Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya. Dalam disertasinya tersebut, Aksin membuat teori yang
membedakan antara wahyu, Al-Qur’an, dan mushhaf ‘Utsmani. “Wahyu adalah firman
Allah yang ada di langit, yang entah berbahasa apa. Al-Qur’an itu apa yang
dibaca tetapi tidak ditulis yang ada pada jaman Nabi Muhammad. Adapun Al-Qur’an
yang ada pada saat ini merupakan Al-Qur’an yang dikonsep oleh khalifah ‘Utsman
bin Affan atau mushhaf ‘Utsmani. Karena pemahaman semacam ini, mereka meyakini
bahwa Al-Qur’an yang kita pegang hari ini tidaklah otentik,” tutur Nashruddin.
Kasus lainnya bisa dicermati dari pendapat
Komaruddin Hidayat dalam bukunya, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Dalam
bukunya, Komaruddin menekankan, “Harus dibedakan antara Al-Qur’an sebagai wahyu
Allah dengan Al Qur’an yang berbahasa Arab saat ini. Kalau ada sesuatu yang
berbahasa berarti itu pasti buatan manusia. Jadi, dalam menafsirkan Al-Qur’an
ada dua pendekatan, yaitu secara teologis dan historis-linguistik. Karena
Al-Qur’an berbahasa Arab berarti ada campur tangan masyarakat Arab,” papar
Nashruddin lagi.
Pandangan semacam ini, menurut Nashruddin lagi,
melahirkan pemahaman yang keliru terhadap Al-Qur’an. “Kalau Al-Qur’an tunduk
pada budaya Arab, maka harus dikritisi dari segi psikologis, sosiologis,
politis dan biologisnya. Dalam keyakinan mereka, Al Qur’an saat ini ialah
buatan orang Quraisy, produk manusia, atau teks buatan manusia yang dipengaruhi
oleh manusia. Karena itu harus dikritisi hal-hal yang melatarbelakanginya,”
jelas Nashruddin.
Pemahaman dan hermeneutika seperti ini dapat
berujung kepada pemikiran pluralis dimana Al-Qur’an disamakan statusnya dengan
kitab-kitab lain yang merupakan buatan manusia. “Padahal, Para sahabat dan
tabi’in dahulu yang secara langsung berinteraksi dengan Al-Qur’an tidak pernah
merasa ada yang janggal dengan Al-Qur’an. Anehnya, para filsuf yang mempelajari
hermeneutika saat ini, dengan hanya sekedar menjadi ‘pengamat’ Al-Qur’an
kemudian merasa bahwa Al-Qur’an tidak otentik,” ujar doktor jebolan Univ. Ibn
Khaldun (UIKA) Bogor ini.
Nashruddin juga menolak sepenuhnya anggapan bahwa
Al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad saw. “Sungguh berbeda antara ‘bahasa
Allah’ dan bahasa manusia. Kalau betul Al-Qur’an buatan Nabi Muhammad,
seharusnya banyak karya yang lebih baik karena Nabi Muhammad adalah seorang
yang ‘ummi. Al-Qur’an merupakan karya yang melampaui jamannya, sehingga banyak
kebenarannya yang baru terbukti di jaman sekarang. Ditemukan pula banyak ayat
yang mengkritik Nabi, sehingga seharusnya dapat diyakini bahwa tidak ada campur
tangan Nabi didalamnya. Banyak pula ayat yang menyebutkan ‘Qul’. Ayat-ayat
semacam ini menunjukkan adanya peran Allah sebagai pihak yang memerintahkan,
dan Nabi sama sekali tidak menghapus kata ini,” pungkas tokoh muda Persatuan
Islam (Persis) ini. [Adilah Nurfitriana/Islampos]
0 komentar:
Post a Comment