Monday, May 30, 2016

Dekonstruksi Wahyu, dari Hermeneutika Hingga Pluralisme




SEKOLAH Pemikiran Islam (SPI) #IndonesiaTanpaJIL kembali menggelar perkuliahannya yang kedelapan pada hari Selasa (28/04/2015) di aula Mi’raj Tours & Travel, Bandung. Perkuliahan yang telah berlangsung sejak bulan Maret ini membahas tema “Dekonstruksi Wahyu” dan dihadiri oleh lebih dari 30 orang pesertanya.

Dr. Nashruddin Syarief, penulis buku “Islam Tanpa Sesat”, membuka perkuliahan dengan prolog mendalam mengenai konsep wahyu yang telah didekonstruksi dan urgensi mempelajarinya untuk menangkal pemahaman yang diinisiasi oleh Barat. “Hari ini nyaris disepakati doktrin yang berasal dari filsafat hermeneutika. Mereka mendoktrin bahwa mustahil firman di langit itu turun secara utuh ke dunia. Teori ini kemudian diserap oleh para cendekiawan muslim di Indonesia lalu dicari dalil dan pembenarannya dari doktrin-doktrin Islam menurut mereka,” papar Nashruddin.


Contoh kasus dalam masalah ini, menurut Nashruddin, dapat dilihat dalam disertasi Aksin Wijaya yang berjudul Arah Baru Studi Ulum Al Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Dalam disertasinya tersebut, Aksin membuat teori yang membedakan antara wahyu, Al-Qur’an, dan mushhaf ‘Utsmani. “Wahyu adalah firman Allah yang ada di langit, yang entah berbahasa apa. Al-Qur’an itu apa yang dibaca tetapi tidak ditulis yang ada pada jaman Nabi Muhammad. Adapun Al-Qur’an yang ada pada saat ini merupakan Al-Qur’an yang dikonsep oleh khalifah ‘Utsman bin Affan atau mushhaf ‘Utsmani. Karena pemahaman semacam ini, mereka meyakini bahwa Al-Qur’an yang kita pegang hari ini tidaklah otentik,” tutur Nashruddin.

Kasus lainnya bisa dicermati dari pendapat Komaruddin Hidayat dalam bukunya, Menafsirkan Kehendak Tuhan. Dalam bukunya, Komaruddin menekankan, “Harus dibedakan antara Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dengan Al Qur’an yang berbahasa Arab saat ini. Kalau ada sesuatu yang berbahasa berarti itu pasti buatan manusia. Jadi, dalam menafsirkan Al-Qur’an ada dua pendekatan, yaitu secara teologis dan historis-linguistik. Karena Al-Qur’an berbahasa Arab berarti ada campur tangan masyarakat Arab,” papar Nashruddin lagi.

Pandangan semacam ini, menurut Nashruddin lagi, melahirkan pemahaman yang keliru terhadap Al-Qur’an. “Kalau Al-Qur’an tunduk pada budaya Arab, maka harus dikritisi dari segi psikologis, sosiologis, politis dan biologisnya. Dalam keyakinan mereka, Al Qur’an saat ini ialah buatan orang Quraisy, produk manusia, atau teks buatan manusia yang dipengaruhi oleh manusia. Karena itu harus dikritisi hal-hal yang melatarbelakanginya,” jelas Nashruddin.

Pemahaman dan hermeneutika seperti ini dapat berujung kepada pemikiran pluralis dimana Al-Qur’an disamakan statusnya dengan kitab-kitab lain yang merupakan buatan manusia. “Padahal, Para sahabat dan tabi’in dahulu yang secara langsung berinteraksi dengan Al-Qur’an tidak pernah merasa ada yang janggal dengan Al-Qur’an. Anehnya, para filsuf yang mempelajari hermeneutika saat ini, dengan hanya sekedar menjadi ‘pengamat’ Al-Qur’an kemudian merasa bahwa Al-Qur’an tidak otentik,” ujar doktor jebolan Univ. Ibn Khaldun (UIKA) Bogor ini.

Nashruddin juga menolak sepenuhnya anggapan bahwa Al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad saw. “Sungguh berbeda antara ‘bahasa Allah’ dan bahasa manusia. Kalau betul Al-Qur’an buatan Nabi Muhammad, seharusnya banyak karya yang lebih baik karena Nabi Muhammad adalah seorang yang ‘ummi. Al-Qur’an merupakan karya yang melampaui jamannya, sehingga banyak kebenarannya yang baru terbukti di jaman sekarang. Ditemukan pula banyak ayat yang mengkritik Nabi, sehingga seharusnya dapat diyakini bahwa tidak ada campur tangan Nabi didalamnya. Banyak pula ayat yang menyebutkan ‘Qul’. Ayat-ayat semacam ini menunjukkan adanya peran Allah sebagai pihak yang memerintahkan, dan Nabi sama sekali tidak menghapus kata ini,” pungkas tokoh muda Persatuan Islam (Persis) ini. [Adilah Nurfitriana/Islampos]

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More