Dalam tinjauan bahasa,
makna al-Iman adalah al-i’tiqad (keyakinan) dan at-tashdiq (membenarkan).
Dalam konteks
syahadatain, al-iman maksudnya adalah yu’minu billah (yakin dan membenarkan
Allah Ta’ala), sehingga ‘adamu dzhannis suu-i billah; tidak ada dalam dirinya
keyakinan, sangkaan atau anggapan jelek kepada Allah Ta’ala. Sebaliknya, ia
akan selalu ber-husnudzhan kepada-Nya:
Mereka yakin bahwa
Allah Ta’ala adalah dzat yang Maha Tinggi, Maha Esa, dan suci dari segala aib
dan kekurangan dan lain sebagainya.
Mereka yakin bahwa
Allah-lah yang Menciptakan, Mengatur dan Memiliki alam semesta ini.
Mereka yakin Dialah
satu-satunya dzat yang berhak diibadahi, adapun selainnya tidak layak
diibadahi.
Mereka yakin Allah-lah
yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang Maha Indah.
Mereka yakin kepada
Allah Ta’ala dalam setiap takdir-Nya.
Mereka yakin kepada
Allah dalam syariat-Nya
Mereka yakin kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau adalah utusan Allah dan
apa yang beliau sampaikan adalah kebenaran.[1]
Dalam konteks
syahadatain, maksud al-iman juga berarti memenuhi tuntutan untuk yakfuru
bitthaghut; mengkufuri thaghut
(sesembahan selain Allah), sehingga ‘adamul istighna (tidak merasa berhajat)
dan ‘adamul istikbar (tidak ada sikap pengagungan) kepada apapun yang selain
Allah Ta’ala.
Urwatul Wutsqa
Seseorang yang memilih
sikap keimanan seperti ini berarti telah berpegang kepada al-urwatul wutsqa
(buhul tali yang amat kuat). Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut
dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul
tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 256).
Mujahid mengatakan
bahwa al-urwatul wutsqa artinya iman. Menurut As-Saddi artinya agama Islam,
sedangkan menurut Sa’id Ibnu Jubair dan
Ad-Dahhak artinya ialah kalimah, La Ilaha Illallah. Menurut sahabat Anas Ibnu
Malik, al-urwatul wutsqa artinya Al-Qur’an. Menurut riwayat yang bersumber dari
Salim Ibnu Abul Ja’d, yang dimaksud al-urwatul wutsqa adalah cinta karena Allah
dan benci karena Allah.
Hadits tentang ‘Urwatul
Wutsqa’
Diriwayatkan oleh Imam
Al Bukhari (3813) dan Imam Muslim (2484 ) dari Qais bin Ubbad radliyallahu ‘anhu dia berkata,
“Aku berada di Madinah dan di sekelilingku
sebagian sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba
datanglah seorang lelaki yang di wajahnya tampak bekas kekhusyukan. Beberapa
orang berkata: ‘Inilah lelaki penghuni surga, inilah lelaki penghuni surga.’
Kemudian lelaki tersebut melaksanakan shalat dua rakaat yang sedang-sedang saja
panjang rakaatnya setelah selesai shalat dia keluar Masjid. Maka aku pun
mengikutinya sampai dia memasuki rumahnya; Aku pun ikut masuk ke rumahnya dan
terjadi perbincangan di antara kami.
Ketika pembicaraan
sudah mulai cair aku berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya tatkala Anda memasuki masjid
maka orang-orang berkata begini dan begitu tentang Anda.’ Lelaki tersebut
berkata: ‘Subhanallah (Maha suci Allah)! Tidak sepatutnya seseorang mengatakan
apa yang tidak ia ketahui, dan aku akan memberitahukan kepada Anda apa itu yang
sedang dibicarakan.’
‘Aku pernah bermimpi
di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku menceritakan
mimpiku tersebut kepada beliau, aku melihat diriku berada di taman surga – dia
menggambarkan luasnya, rerumputannya dan hijau-hijauan yang ada di sana- dan di
tengah taman surga ada tiang yang terbuat dari besi yang batang bawahnya
menancap di bumi dan atasnya sampai ke langit, di bagian atasnya terdapat “Al
‘Urwah”, tali yang sangat kuat, lalu dikatakan kepadaku: ‘Naikilah’. Aku
menjawab: ‘Aku tidak bisa, dan datanglah kepadaku Minshaf -Ibnu ‘Aun berkata:
Al-Minshaf adalah pembantu- lalu Minshaf menggapai bajuku dari belakang dan dia
menyebutkan bahwa dia diangkat oleh Minshaf dengan tangannya dari arah
belakang. Lalu aku menaiki sampai aku berada dipuncak tiang, kemudian aku
mengambil Al ‘Urwah, dan dikatakan kepadaku: ‘Peganglah erat-erat’. Tiba-tiba
aku terbangun dan ternyata Al ‘Urwah berada di tanganku.’
‘Lalu aku
menceritakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda:
‘Taman Itu adalah tamannya umat Islam,
dan tiang itu adalah tiangnya Islam,
sedangkan tali yang engkau sebutkan adalah “Al ‘Urwah Al Wutsqo” dan engkau akan tetap berada di jalan Islam
hingga engkau meninggal.’ Lalu Qais bin Ubbad berkata: ‘Lelaki tersebut adalah
Abdullah bin Salaam.’
*****
Jadi, tuntunan al-iman
adalah yakfuruna bit-thaghuti wa yu’min billah—kufur kepada thaghut dan beriman
kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang telah mengambil sikap seperti ini, berarti
ia telah berpegang teguh kepada al-‘urwatul wutsqa—buhul tali yang amat kuat,
yakni Islam. Ia telah selamat karena yakhruju minadzulumatil jahiliyyah ila
nuril Islam -keluar dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam. Wallahu
a’lam. (Risalah Tarbawiyah/Oleh: M. Indra
Kurniawan)
[1] Lihat: Berbaik
Sangka Kepada Allah, Ust. Nuzul Dzikri, Lc
0 komentar:
Post a Comment