Oleh: Dr. Adian Husaimi
Bagi peminat pemikiran keagamaan, istilah
Abrahamic Faith atau agama Ibrahim tidaklah asing. Istilah ini sudah lama
dipopulerkan oleh banyak kalangan dan dianggap sebagai sesuatu yang sudah lazim
dalam iztilah studi-studi agama, seperti halnya pembagian agama menjadi agama
samawi (agama langit) dan agama ardhi (agama bumi). Istilah ini mulai popular
di dunia Islam, setelah pada tahun 1986, The International Institute of islamic
Thought (IIIT), menerbitkan sebuah buku berjudul Trialogue of the Abrahamic
Faiths (ed. Ismail Raji al-Faruqi). Secara harfiah, judul buku itu adalah
Trialog antar Agama-agama Ibrahim”. Buku ini merupakan kompilasi makalah hasil
konvensi tahun 1979 di New York yang diselenggarakan oleh American Academy of
Religion (AAR ).
Pada 8 November 2007, Republika menurunkan sebuah
kolom Azyumardi Azra berjudul ”Trialog Peradaban. Azra menceritakan, bahwa pada
21-24 Oktober 2007, Harvard University menyelenggarakan sebuah konferensi
bertema Children of Abraham: A Trialogue of Civilization. Kata Azra, Anak-anak
Ibrahim, tak lain adalah para pengikut tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Pembicaraan antara ketiga agama (trialog) diharapkan dapat menumbuhkan saling
pengertian dan toleransi yang pada gilirannya mendatangkan perdamaian.
Lebih jauh Azra menulis:
Dalam makalah berjudul Trialogue of Abrahamic
Faiths: Towards the Alliance of Civilizations, saya melihat Abrahamic Faiths
yang dalam al-Quran disebut sebagai millah Ibrahim memiliki banyak kesamaan dan
afinitas; lebih dari itu ketiganya juga berbagi sejarah yang sama. Tetapi,
tentu saja, masing-masing agama Nabi Ibrahim tersebut unik dalam dirinya
sendiri. Lagi pula, para penganut ketiga agama itu ibarat kakak-adik, juga
terlibat dalam persaingan, kecemburuan, konflik, dan bahkan perang.
Begitulah, sebagian isi tulisan Azyumardi Azra,
yang mengaku beruntung hadir dalam konferensi di Harvard tersebut. Ia merupakan
satu-satunya ilmuwan dari Asia yang hadir di situ.
Kita tentu menyambut baik setiap usaha untuk
menciptakan perdamaian di muka bumi ini. Namun, kita perlu mengkaji dengan
cermat, cara-cara yang digunakan untuk menciptakan perdamaian tersebut,
khususnya dalam hal yang berkenaan dengan ajaran Islam itu sendiri. Soal dialog
antar-agama, dalam sejarah, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak awal
kemunculannya, umat Islam sudah terbiasa berdialog dengan siapa saja. Di Mekah,
sebelum hijrah, Rasulullah saw dan para sahabat sudah berdialog dengan kaum
musyrik Arab dan pengikut Kristen. Saat hijrah ke Habsyah, Jafar bin Abdul
Muthalib sudah berdialog keras dengan pengikut Kristen dan juga Raja Najasyi
yang ketika itu masih memeluk agama Kristen. Di Madinah, Rasulullah saw
melayani perdebatan dengan delegasi Kristen Najran.
Bahkan, jika kita renungkan, banyak ayat al-Quran
yang senantiasa mengajak kaum Yahudi dan Kristen untuk berdialog. Tetapi, jika
kita baca ayat-ayat al-Quran, tentang masalah ini, kita akan menemukan, bahwa
posisi al-Quran senantiasa jelas, yaitu posisi menyeru kaum Yahudi-Kristen agar
kembali kepada kalimah tauhid, kembali kepada ajaran inti yang dibawa oleh para
nabi, yaitu ajaran Tauhid. Misalnya, QS Ali Imran: 64 menyebutkan: Katakanlah,
wahai Ahlul Kitab, marilah kita kembali kepada kalimah yang sama (kalimatin
sawa) antara kami dan kalian semua, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan
tidak menserikatkan Allah dengan sesuatu pun dan kita tidak menjadikan sebagian
diantara kita sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka ingkar, maka katakan,
saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.
Sebagai Muslim, kita yakin, bahwa Nabi Muhammad
saw adalah nabi terakhir yang menegaskan kembali ajaran tauhid yang dibawa para
nabi sebelumnya. Kita yakin, bahwa semua Nabi, termasuk Nabi Ibrahim juga
membawa ajaran tauhid. Karena itu, ’millah Ibrahim’, dalam pandangan Islam,
adalah agama tauhid. Dan saat ini, satu-satunya agama Tauhid dalam pandangan
Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Maka, dalam perspektif
Islam ini, istilah Abrahamic Faiths (agama-agama Ibrahim), dalam bentuk jamak
yang memasukkan agama Yahudi dan Kristen sebagai millah Ibrahim, adalah aneh
dan keliru. Seolah-olah, ada banyak agama Ibrahim.
Jika kita telusuri lebih jauh lagi, akan tampak
kerancuan penggunaan istilah Abrahamic Faiths ini. Misalnya, dalam agama Yahudi
(Judaism) dan Kristen (Christianity), terdapat begitu banyak sekte dan bahkan
agama-agama yang berbeda-beda. Apakah semuanya juga millah Ibrahim? Tentu tidak
mungkin seperti itu. Sebab, agama Ibrahim adalah satu, dan yang satu itu adalah
agama Tauhid.
Dalam hal inilah, kita biasa melihat, banyaknya
cendekiawan yang kurang hati-hati dalam mengadopsi istilah-istilah tertentu.
Dalam perspektif netral agama, secara historis-fenomenologis, bisa saja Islam,
Kristen, dan Yahudi dimasukkan ke dalam kategori Abrahamic Faiths, karena
ketiganya memiliki klaim sebagai pewaris ajaran Ibrahim. Tetapi, al-Quran sudah
menjelaskan apa yang dimaksud dengan millah Ibrahim yang hanif. “Dan siapakah
yang lebih baik din-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti millah Ibrahim
yang hanif. (QS 4:125). Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah
seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik. (QS 3:67).
Dengan penegasan al-Quran itu, tidaklah tepat
jika ada cendekiawan yang mengakui bahwa agama Kristen dan Yahudi saat ini termasuk
ke dalam kategori millah Ibrahim yang hanif. Jika kaum Yahudi dan Kristen
mengklaim mereka sebagai pelanjut agama Ibrahim, itu adalah urusan mereka.
Tetapi, sebagai Muslim, seyogyanya pandangan kita bersandar kepada
konsep-konsep yang diajarkan dalam al-Quran.
Dalam konferensi tahun 1979, melalui makalahnya
yang berjudul Islam and Christianity in the Perspective of Judaism, Michel
Wyschogrod, profesor filsafat di Baruch College, City University, New York,
memaparkan persoalan mendasar dalam pemahaman keagamaan antara Yahudi, Kristen,
dan Islam. Yahudi dan Kristen bersekutu dalam Bibel (Perjanjian Lama). Tetapi
berbeda secara mendasar dalam soal trinitas. Dengan Islam, Yahudi tidak
bermasalah dalam soal pengakuan Tuhan yang satu (monotheism). Tetapi, Muslim
memandang bahwa telah terjadi penyimpangan (tahrif) yang serius pada Kitab
Yahudi (juga Kristen).
Gambaran Prof. Michel Wyschogrod tentang Islam
tersebut tidak sepenuhnya benar. Monoteisme memang mengakui Tuhan yang satu.
Tetapi, monoteisme tidak sama dengan Tauhid. Istilah ini juga sering
disalahpahami, seolah-olah monoteisme sama dengan Tauhid. Dalam konsep Islam,
tauhid adalah mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan ada unsur ikhlas,
rela diatur oleh Allah SWT. Karena itu, jika orang menyembah Tuhan yang satu,
tetapi yang yang satu itu adalah Firaun, maka dia tidak bertauhid. Iblis pun
tidak bertauhid, tetapi kafir, karena menolak tunduk kepada Allah, meskipun dia
mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Dalam perspektif Islam inilah, memasukkan agama
Yahudi (Judaism), sebagai ‘millah Ibrahim’ juga patut dipertanyakan. Kaum
Yahudi memang menyembah Tuhan yang satu. Tetapi, hingga kini, mereka masih
berselisih paham tentang siapa Tuhan yang satu itu? Sebagian menyebut-Nya
sebagai Yahweh. Tetapi, dalam tradisi Yahudi, nama Tuhan tidak boleh diucapkan.
Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis: “Yahweh: The God of
Judaism as the tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and
many other Jews, Gods name is never articulated, least of all in the Jewish
liturgy.” Jadi, hingga kini, belum jelas, siapa nama Tuhan Yahudi.
Karena menolak beriman kepada kenabian Muhammad
saw, maka kaum Yahudi kehilangan jejak kenabian dan Tauhid, karena kehilangan
data-data valid dalam Kitab mereka. Th.C.Vriezen, dalam buku Agama Israel Kuno
(Jakarta: BPK, 2001), menulis, bahwa “Ada beberapa kesulitan yang harus kita
hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung
jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang
diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur) Namun, ada
kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap
dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian
mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang
merupakan sisipan.
Dalam sejumlah buku studi Islam di Perguruan
Tinggi, masih ada yang menulis bahwa agama Yahudi adalah agamanya Nabi Musa
a.s. Bahkan, Prof. Harun Nasution, dalam buku Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, menyebut agama Yahudi sebagai agama yang memelihara kemurnian Tauhid.
Padahal, agama nabi Musa adalah agama Tauhid yang kemudian dilanjutkan oleh
Nabi Muhammad saw. Jika Yahudi memeluk agama Nabi Musa, pasti mereka akan
menerima kenabian Muhammad saw. Al-Quran banyak menyebutkan tindakan kaum
Yahudi yang mengubah-ubah kitab mereka, sehingga mereka keluar dari jalan
kebenaran. (QS 2:59, 75, 79, dll).
Senada dengan Yahudi, Kristen juga menolak
kenabian Muhammad saw dan bahkan mengangkat status Nabi Isa a.s. sebagai Tuhan.
Al-Quran memberikan kritik-kritik yang sangat mendasar terhadap konsep
ketuhanan Kristen ini. (QS 19:88-91, 5:72-75, dll.). Secara tegas, al-Quran
menyebutkan, bahwa Nabi Isa a.s. pernah menyeru Bani Israil agar mengakuinya
sebagai Rasul, utusan Allah, dan mengabarkan kedatangan Nabi Muhammad saw.
Karena itulah, Islam memandang, kaum Kristen telah melakukan penyimpangan
aqidah, karena mengangkat Nabi Isa a.s. sebagai Tuhan, bukan sebagai utusan
Allah. Dengan konsep itu, mereka menolak untuk beriman kepada kenabian Muhammad
saw. Segaimana kaum Yahudi, kaum Kristen di Barat tidak mengenal nama Tuhan
mereka. Mereka hanya menyebut Tuhannya sebagai God atau Lord. Soal nama Tuhan,
masih diperselisihkan, dalam agama Kristen.
Karena itu, dalam pandangan Islam, yang bisa
dimasukkan ke dalam kategori sebagai millah Ibrahim saat ini, hanyalah agama
Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Kaum Muslim begitu dekat
dengan nabi Ibrahim a.s.. Setiap shalat, kaum Muslim membaca doa untuk Nabi
Ibrahim. Begitu juga, salah satu hari raya umat Islam adalah hari raya Idul
Adha yang terkait erat dengan kisah perjuangan dan perjalanan hidup Nabi
Ibrahim a.s..
Dari sinilah, kita memahami, bahwa sebaiknya
istilah Abrahamic Faiths tidak digunakan. Apalagi, dalam bentuk jamak (plural)
yang menunjukkan bahwa ada banyak agama Ibrahim. Padahal, agama Nabi Ibrahim
hanya satu, yaitu agama Tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh para Nabi
sesudahnya, sampai nabi terakhir, Muhammad saw. Nabiyullah Ibrahim a.s. begitu
gigih dalam memperjuangkan Tauhid, sampai harus berhadapan dengan keluarganya
sendiri dan diusir dari tanah kelahirannya.
Sebagaimana yang lalu-lalu, kita berulangkali
mengimbau, kiranya para cendekiawan berhati-hati dalam menggunakan istilah.
Tanpa menggunakan istilah-istilah yang aneh-aneh, kita bisa melakukan dialog
dengan kaum Yahudi, Kristen, dan sebagainya. Tidak perlu menjustifikasi hal-hal
yang bertentangan secara tegas dengan konsep-konsep dasar Islam. Dalam
pandangan Islam, perdamaian adalah penting. Tetapi, Tauhid lebih penting.
Karena itulah, Rasulullah saw memilih tidak berdamai dengan paman-pamannya yang
menolak Tauhid dan lebih mengutamakan syirik. Kita menghormati perbedaan. Kita
ingin perdamaian. Kita siap berdialog. Tetapi, dalam dialog itu, perspektif dan
posisi kita sebagai Muslim harusnya dinyatakan secara tegas. Justru, dialog itu
akan terjadi, jika masing-masing pihak memiliki posisi yang jelas. Jika tidak,
maka dapat muncul sikap kepura-puraan dan kemunafikan. Wallahu alam. (Jakarta,
9 November 2007).
0 komentar:
Post a Comment