Monday, December 5, 2016

Inkonsistensi




Oleh: Imam Shamsi Ali*

Dalam ajaran Islam, sikap konsisten adalah kunci kesuksesan. Pengakuan atau keimanan kepada Tuhan yang Satu, Rabbunallah, menuntut sikap konsisten (istaqaamu). Jika tidak, boleh jadi pengakuan itu tinggalah hiasan bibir. 

Dalam dunia yang penuh "tipu daya" (tricks) saat ini, sikap konsisten itu semakin menipis. Berbagai pernyataan, opini, propaganda, dan semacamnya tidak lagi konsisten pada "nilai kebenarannya". Tapi terbang ambing di tengah derasnya gelombang kepentingan. 

Keadilan yang menjadi dasar kemuliaan hidup manusia menjadi keadilan sepihak karena hilangnya "konsistensi". Di dalam menilai dan memperjuangkan keadilan kerap kali tersembunyi maksud. Yaitu keadilan untuk diri atau kelompok sendiri. Ketika keadilan itu memihak pada diri dan kelompok kita maka itulah keadilan yang mutlak dipertahankan dan diperjuangkan. Sebaliknya ketika keadilan itu dimaksudkan bagi bagi orang lain, apalagi yang dianggap lawan, maka keadilan bisa dipersepsikan atau dikampanyekan sebagai "kezaliman". 

Ketika kaum penguasa atau penjajah melakukan kekerasan maka itu adalah penegakan hukum dan untuk menjamin keamanan. Tapi ketika kaum lemah dan terjajah melakukan perlawanan maka itu adalah "kekerasan dan terorisme". 
Kebebasan juga demikian. Ketika kebebasan itu dieskpresikan oleh kita atau kelompok kita maka kebebasan itu murni sebagai kebebasan. Tapi ketika kebebasan itu diekspresikan oleh pihak lain, apalagi jika ekspresi kebebasan itu berlawanan dengan konsep dan pemahaman, atau kepentingan kita dan kelompok kita, maka kebebasan itu berbalik menjadi "keterkungkungan".

Wanita-wanita di dunia barat bebas berpakaian sesuai keinginannya. Bahkan bebas setengah berpakaian, bahkan tidak berpakaian sekalipun. Tidak akan dihalangi selama itu tidak mengganggu orang lain. Tapi ketika wanita-wanita Muslimah berpakaian dengan ekspresi kebebasan gang dipahaminya, oleh pihak lain akan dilandang sebagai "keterkungkungan". 

Beberapa waktu lalu ada tiga orang Amerika di Kansas ditangkap karena akan melakukan pemboman ke pemukiman imigran Somalia. Menurut informasi FBI mereka menamakan kelompok "crusaders" itu telah membuat, dan mampu membuat alat pemboman. 

Hari ini kita baca berita dengan judul: White privilege wages jihad: Kansas “militia members” aren’t considered “terrorists” because they’re not Muslim. 

Itu satu sikap inkonsisten, bahkan kemunafikan dalam menyikapi permasalahan yang ada. Bayangkan jika yang tertangkap itu adalah seseorang yang beragama Islam. Pastilah tanpa penyelidikan awal semua media akan melabelkannya dengan "islamic terrorist". 

Toleransi

Kita hidup dalam dunia ragam. Ragam suku, bangsa, budaya dan bahkan agama dan bahkan asosiasi politik. Keragaman ini rentang membawa kepada gesekan-gesekan sosial, jika tidak terantisipasi dengan baik dan dengan kedewasaan. 

Seringkali kita dengarkan bahwa kunci utama dari solusi permasalahan sosial akibat keragaman ini adalah toleransi. Tapi sejujurnya toleransi bukanlah kata yang tepat. Kata yang tepat adalah saling belajar (ta'aruf) sehingga tumbuh sikap saling memahami (tafahum). Dari sikap saling memahami inilah semua pihak akan belajar untuk saling "menghormati" berdasarkan kepada kebebasan yang masing-masing dipilihnya. 

Tapi anggaplah kita semua sepakat menerima istilah toleransi sebagai jembatan yang bisa mendekatkan sekat-sekat perbedaan (keragaman) itu. Dengan toleransi kita menumbuhkan sikap penerimaan atas sesuatu yang kita setujui. Menerima dalam arti menghormati pilihan orang lain.

Masalahnya adalah seringkali tumbuh sikap "inkonsisten" dalam menyikapinya. Seolah toleransi itu adalah "pahami, hormati dan terima aku". Sebaliknya ketika pihak lain memilih bersikap sebaliknya, tentu atas dasar pertimbangan dan kemerdekaannya, maka akan dicap sebagai pihak yang tidak toleran, bahkan egois.
Dalam menyikapi pilihan politik misalnya, kita akan dikategorikan toleran jika memilih pilihan orang lain. Atau minimal diam terhadap berbagai ketidak wajaran dari pilihan orang lain. Di saat anda menyuarakan, atau bahkan menjatuhkan pilihan dengan pertimbangan anda sendiri, boleh jadi anda akan berbalik tertuduh tidak toleran. 

Oleh karenanya, saya ingin melihat konsistensi semua pihak dalam semua hal. Tentu termasuk dalam sikap atau pilihan seseorang dan/atau kelompok. Jika seseorang menjatuhkan pilihannya karena pertimbangan agama, ras dan suku, saya melihat tidak salah. Tidak perlu dituduh SARA karena itu bagian dari ekspresi kebebasan. Jangan-jangan tingkatan toleransi anda sedang teruji. 

Ini tentunya termasuk ketika ada sebagian masyarakat memahami Kitab Sucinya sebagai acuan untuk memilih atau tidak memilih. Tidak perlu pemahaman ayat atau pin agama secara umum dituduh politisasi agama. 

Saya tidak akan keberatan kalau misalnya jika di Amerika saat ini ada yang melarang orang-orang Kristiani memilih calon Muslim berdasarkan Kitab Sucinya. Toh itu bagian dari keimanan dan praktek iman yang dijamin oleh Konstitusi. 

Terlepas dari apakah saya setuju atau tidak, Kenapa ketika sebagian orang Islam melarang sesama memilih pemimpin berdasarkan pemahamannya dari Kitab sucinya dianggap SARA atau tidak toleran? Jangan-jangan itu memang bukti inkonsisensi kita dalam nilai-nilai yang kita kampanyekan. Terkasuk kampanye toleransi itu. Wallahi a'lam! 

* Presiden Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America, Inc.

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More