Oleh: Imam Shamsi Ali*
Dalam ajaran Islam, sikap konsisten adalah kunci
kesuksesan. Pengakuan atau keimanan kepada Tuhan yang Satu, Rabbunallah,
menuntut sikap konsisten (istaqaamu). Jika tidak, boleh jadi pengakuan itu
tinggalah hiasan bibir.
Dalam dunia yang penuh "tipu daya"
(tricks) saat ini, sikap konsisten itu semakin menipis. Berbagai pernyataan,
opini, propaganda, dan semacamnya tidak lagi konsisten pada "nilai
kebenarannya". Tapi terbang ambing di tengah derasnya gelombang
kepentingan.
Keadilan yang menjadi dasar kemuliaan hidup
manusia menjadi keadilan sepihak karena hilangnya "konsistensi". Di
dalam menilai dan memperjuangkan keadilan kerap kali tersembunyi maksud. Yaitu
keadilan untuk diri atau kelompok sendiri. Ketika keadilan itu memihak pada
diri dan kelompok kita maka itulah keadilan yang mutlak dipertahankan dan
diperjuangkan. Sebaliknya ketika keadilan itu dimaksudkan bagi bagi orang lain,
apalagi yang dianggap lawan, maka keadilan bisa dipersepsikan atau
dikampanyekan sebagai "kezaliman".
Ketika kaum penguasa atau penjajah melakukan
kekerasan maka itu adalah penegakan hukum dan untuk menjamin keamanan. Tapi
ketika kaum lemah dan terjajah melakukan perlawanan maka itu adalah
"kekerasan dan terorisme".
Kebebasan juga demikian. Ketika kebebasan itu
dieskpresikan oleh kita atau kelompok kita maka kebebasan itu murni sebagai
kebebasan. Tapi ketika kebebasan itu diekspresikan oleh pihak lain, apalagi
jika ekspresi kebebasan itu berlawanan dengan konsep dan pemahaman, atau
kepentingan kita dan kelompok kita, maka kebebasan itu berbalik menjadi
"keterkungkungan".
Wanita-wanita di dunia barat bebas berpakaian
sesuai keinginannya. Bahkan bebas setengah berpakaian, bahkan tidak berpakaian
sekalipun. Tidak akan dihalangi selama itu tidak mengganggu orang lain. Tapi
ketika wanita-wanita Muslimah berpakaian dengan ekspresi kebebasan gang
dipahaminya, oleh pihak lain akan dilandang sebagai
"keterkungkungan".
Beberapa waktu lalu ada tiga orang Amerika di
Kansas ditangkap karena akan melakukan pemboman ke pemukiman imigran Somalia.
Menurut informasi FBI mereka menamakan kelompok "crusaders" itu telah
membuat, dan mampu membuat alat pemboman.
Hari ini kita baca berita dengan judul: White
privilege wages jihad: Kansas “militia members” aren’t considered “terrorists”
because they’re not Muslim.
Itu satu sikap inkonsisten, bahkan kemunafikan
dalam menyikapi permasalahan yang ada. Bayangkan jika yang tertangkap itu
adalah seseorang yang beragama Islam. Pastilah tanpa penyelidikan awal semua
media akan melabelkannya dengan "islamic terrorist".
Toleransi
Kita hidup dalam dunia ragam. Ragam suku, bangsa,
budaya dan bahkan agama dan bahkan asosiasi politik. Keragaman ini rentang
membawa kepada gesekan-gesekan sosial, jika tidak terantisipasi dengan baik dan
dengan kedewasaan.
Seringkali kita dengarkan bahwa kunci utama dari
solusi permasalahan sosial akibat keragaman ini adalah toleransi. Tapi
sejujurnya toleransi bukanlah kata yang tepat. Kata yang tepat adalah saling
belajar (ta'aruf) sehingga tumbuh sikap saling memahami (tafahum). Dari sikap
saling memahami inilah semua pihak akan belajar untuk saling
"menghormati" berdasarkan kepada kebebasan yang masing-masing
dipilihnya.
Tapi anggaplah kita semua sepakat menerima
istilah toleransi sebagai jembatan yang bisa mendekatkan sekat-sekat perbedaan
(keragaman) itu. Dengan toleransi kita menumbuhkan sikap penerimaan atas
sesuatu yang kita setujui. Menerima dalam arti menghormati pilihan orang lain.
Masalahnya adalah seringkali tumbuh sikap
"inkonsisten" dalam menyikapinya. Seolah toleransi itu adalah
"pahami, hormati dan terima aku". Sebaliknya ketika pihak lain
memilih bersikap sebaliknya, tentu atas dasar pertimbangan dan kemerdekaannya,
maka akan dicap sebagai pihak yang tidak toleran, bahkan egois.
Dalam menyikapi pilihan politik misalnya, kita
akan dikategorikan toleran jika memilih pilihan orang lain. Atau minimal diam
terhadap berbagai ketidak wajaran dari pilihan orang lain. Di saat anda
menyuarakan, atau bahkan menjatuhkan pilihan dengan pertimbangan anda sendiri,
boleh jadi anda akan berbalik tertuduh tidak toleran.
Oleh karenanya, saya ingin melihat konsistensi
semua pihak dalam semua hal. Tentu termasuk dalam sikap atau pilihan seseorang
dan/atau kelompok. Jika seseorang menjatuhkan pilihannya karena pertimbangan
agama, ras dan suku, saya melihat tidak salah. Tidak perlu dituduh SARA karena
itu bagian dari ekspresi kebebasan. Jangan-jangan tingkatan toleransi anda
sedang teruji.
Ini tentunya termasuk ketika ada sebagian
masyarakat memahami Kitab Sucinya sebagai acuan untuk memilih atau tidak
memilih. Tidak perlu pemahaman ayat atau pin agama secara umum dituduh
politisasi agama.
Saya tidak akan keberatan kalau misalnya jika di
Amerika saat ini ada yang melarang orang-orang Kristiani memilih calon Muslim
berdasarkan Kitab Sucinya. Toh itu bagian dari keimanan dan praktek iman yang
dijamin oleh Konstitusi.
Terlepas dari apakah saya setuju atau tidak,
Kenapa ketika sebagian orang Islam melarang sesama memilih pemimpin berdasarkan
pemahamannya dari Kitab sucinya dianggap SARA atau tidak toleran? Jangan-jangan
itu memang bukti inkonsisensi kita dalam nilai-nilai yang kita kampanyekan.
Terkasuk kampanye toleransi itu. Wallahi a'lam!
* Presiden Nusantara Foundation & Muslim
Foundation of America, Inc.
0 komentar:
Post a Comment