Adnin Armas
(Direktur Eksekutif MIUMI)
(Direktur Eksekutif MIUMI)
Tafsir semantik dasar sebenarnya sudah mencukupi
untuk memaknai pernyataan “dibohongi pakai Al Maidah 51”. Tulisan singkat ini
ingin mendalami pernyataan tersebut dengan pendekatan *pragmatika* dan
*chronotope*.
Dari *pragmatika* dapat dijelaskan komunikasi
lisan terjadi secara langsung antara penutur dan pendengar yang bersifat
memberikan peyakinan (directive) oleh Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI,
kepada masyarakat di suatu tempat yang dikondisikan untuk itu. Penuturan
bersifat penjelasan program pembangunan. Namun di dalam penuturan tersebut
terselip pernyataan negatif yang disampaikan secara spontan dan langsung
direspon oleh masyarakat sebagai spontan. Tidak ada *perulangan* dan *koreksi*
dalam penuturan selanjutnya. Ini mengindikasikan penutur sangat yakin dan puas
karena pesan yang disampaikan telah diterima. Artinya frasa “dibohongi pakai Al
Maidah 51” adalah ungkapan yang mudah dimengerti dalam kelompok itu. Pada
kenyataannya ketika lingkaran hermeneutika dikembangkan lebih luas melalui
berbagai saluran komunikasi, dapat ditunjukkan bahwa frasa tersebut telah
melukai perasaan keagamaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini
menunjukkan frasa tersebut tidak diterima secara sosiologis dan antropologis
oleh sebagian besar masyarakat.
Frasa “dibohongi pakai Al Maidah 51” merupakan
konteks *chronotope*, yang harus dipahami secara kultural dalam ruang-waktu.
Frasa merupakan penggalan kalimat yang bersifat negatif karena menggunakan kata
‘dibohongi’, menunjukkan ada pengalaman traumatik dari kehidupan sosial
penutur. Mengingat penutur bukan beragama Islam, makna ‘dibohongi' ini menjadi
tuduhan terhadap sistem keyakinan pemeluk agama lain, dan menjadi penghinaan
agama. Pengalaman traumatik tersimpan dalam memori/ingatan, yang bisa berasal
dari pengetahuan yang dipelajari sendiri, atau berasal dari pengalaman orang
lain, atau suatu kejadian yang dialami sendiri yang diakibatkan oleh subyek
pembohong atau obyek pembohongan tersebut. Bila frasa “dibohongi pakai Al
Maidah 51” diungkapkan dengan mudah dan langsung mendapatkan tanggapan oleh
pendengarnya, menunjukkan penggunaan frasa tersebut telah dipikirkan cukup lama
(diakronik) oleh penutur dengan kesadaran penuh. Ada kekecewaan dan kekecewaan
tersebut tersimpan dalam frasa negatif tersebut sebagai bentuk pengalaman
traumatik.
Penggunaan kata ‘pakai’ tidak menjadi
permasalahan karena berperan sebagai kata sandang. Permasalahan secara
kebahasaan adalah tidak dijelaskan subyek kalimat/frasa, sehingga subyek
menjadi tidak penting. Frasa “dibohongi pakai Al Maidah 51” menekankan pada
obyek kalimat yaitu Al Maidah 51 yang merupakan bagian dari kitab suci Al
Quran. Dalam komunikasi langsung makna yang secara cepat mengalir dari penutur
kepada pendengar adalah “dibohongi [pakai] Al Maidah 51”, yang telah masuk
dalam penistaan terhadap salah satu simbol agama.
Beberapa pemberatan secara hukum dalam
permasalahan ini adalah frasa “dibohongi pakai Al Maidah 51” disampaikan oleh
seorang pejabat publik, disampaikan dalam forum masyarakat yang bukan bersifat
diskusi, dan disalurkan oleh media pemerintah daerah sendiri, sebelum
disebarkan oleh individu lainnya.
0 komentar:
Post a Comment