Oleh: Dr Adian Husaini
“Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin;
sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa
yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah
tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada
kaum yang zalim.” (QS al-Maidah: 51).
Sejak tahun 1959, Prof Haji Abdul
Malik Karim Amrullah atau yang lebih terkenal dengan sebutan Buya Hamka, sudah
mengajar Tafsir Alquran di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta. Tahun 1964, Buya Hamka dijebloskan ke dalam
tahanan oleh Rezim Orde Lama. Ketika itulah, Ketua MUI Pertama itu
berkesempatan menyelesaikan Tafsir al-Azhar, yang kini masih menjadi salah satu
Buku Tafsir rujukan di Indonesia. Dari waktu ke waktu, Tafsir ini
berganti-ganti penerbit. Terakhir, tahun 2015, Tafsir al-Azhar diterbitkan oleh
penerbit Gema Insani Press (GIP) Jakarta dalam bentuk edisi mewah.
Di tengah gegap gempita
pembahasan QS al-Maidah ayat 51 – yang dipicu pernyataan Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) – ada baiknya kita menelaah bagaimana Buya Hamka menafsirkan QS
al-Maidah: 51. Sebab, selama puluhan tahun, belum pernah kita dengar satu makhluk
pun di muka bumi yang berani menuduh para mufassir Alquran seperti Buya Hamka
ini, telah membohongi dan membodohi umat Islam pakai al-Maidah:51.
Karena itulah, ucapan Ahok di
Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, sangat bersejarah. Dalam pernyataannya, 11 Oktober 2016, MUI secara resmi menyatakan,
bahwa Ahok telah menghina Alquran dan menghina ulama-ulama Islam. Kita simak kembali petikan ucapan Ahok yang
juga dikutip dalam pernyataan resmi MUI: “… Jadi jangan percaya sama orang, kan
bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin
pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu
perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu
ya..”
Maka, adalah menarik untuk menelaah
isi Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka tentang QS al-Maidah:51. Setelah itu, kita
bertanya, layakkah ulama terkemuka seperti Buya Hamka ini dikatakan telah
membohongi dan membodohi umat Islam? Juga, kepada siapa seharusnya penghina
Alquran dan ulama itu meminta maaf? Siapa pula yang pantas memberikan maaf?
Buya Hamka mengawali penjelasan
tentang QS al-Maidah:51 dengan kata-kata yang tegas: “Untuk memperteguh
disiplin, menyisihkan mana kawan mana lawan, maka kepada orang yang beriman
diperingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin.” (pangkal ayat 51).
Selanjutnya, kita ikuti uraian
Buya Hamka dalam Kitab Tafsirnya tersebut:
“Di sini jelas dalam kata seruan
pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu konsekuensi sendiri
karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau menyerahkan pimpinannya
kepada Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak
patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang akan
didapat, melainkan bertambah kusut…”
“… Sebagian mereka adalah
pemimpin-pemimpin dari yang sebagian.” Maksud ayat ini dalam dan jauh. Artinya
jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau kamu angkat
menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah kamu, bahwa sebagian
yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi kawannya yang lain, yang tidak
kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang mereka kerjakan diatas itu pada
hakikatnya ialah tidak turut dengan kamu. Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari
itu. Dalam kepercayaan sangatlah bertentangan di antara Yahudi dan Nasrani;
Yahudi menuduh Maryam berzina dan Isa al-Masih anak Tuhan, dan juga Allah
sendiri yang menjelma jadi insan. Sejak masa Isa al-Masih hidup, orang Yahudi
memusuhi Nasrani, dan kalau Nasrani telah kuat kedudukannya, merekapun
membalaskan permusuhan itu pula dengan kejam sebagaimana selalu tersebut dalam
riwayat lama dan riwayat zaman baru. Tetapi apabila mereka hendak menghadapi
Islam, yang keduanya sangat membencinya, maka yang setengah mereka akan
memimpin setengah yang lain. Artinya di dalam menghadapi Islam, mereka tidak
keberatan bekerja sama.
Sebagaimana pernah terjadi di
Bandung pada masa Republik Indonesia telah memilih Anggota Badan Konstituante.
Wakil-wakil partai-partai Islam ingin agar di dalam Undang-Undang Dasar yang
akan dibentuk itu dicantumkan tujuh kalimat, yaitu, “Dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya.” Maka seluruh partai yang membenci
cita-cita Islam itu sokong-menyokong, pimpin-memimpin, beri-memberi, menentang
cita-cita itu, walaupun diantara satu sama lain berbeda ideologi dan berbeda
kepentingan. Dalam menghadapi Islam mereka bersatu. Bersatu Katolik, Protestan,
partai-partai nasional, partai sosialis, dan partai komunis.
Dalam gelanggang internasional
pun begitu pula. Pada tahun 1964 Paus Paulus VI, sebagai Kepala Tertinggi dari
gereja Katolik mengeluarkan ampunan umum bagi agama Yahudi. Mereka dibebaskan
dari dosa yang selama ini dituduhkan kepada mereka yaitu karena usaha merekalah
Nabi Isa al-Masih ditangkap oleh Penguasa Romawi dan diserahkan kepada orang
Yahudi, lalu disalib, (menurut kepercayaan mereka).
Sekarang setelah 20 abad Yahudi
dikutuk, Yahudi dihina dimana-mana dalam dunia Kristen, tiba-tiba Paus memberi
mereka ampun. Ampun apakah ini, sehingga pegangan kepercayaan 2.000 tahun dapat
diubah demikian saja? Tidak lain, adalah Ampunan Politik. Tenaga Yahudi yang
kaya raya dengan uang harus bersatu padu dengan Kristen di dalam menghadapi
bahaya Islam.
Kemudian, 1967, negeri-negeri
Arab diserang Yahudi dalam masa empat hari dan Jerusalem (Baitul Maqdis)
dirampas dari tangan kaum Muslimin, padahal telah 14 abad mereka punyai. Dan
tiba-tiba datanglah gagasan dari gereja Katolik agar kekuasaan atas Tanah Suci
kaum Muslimin, wilayah turun temurun selama 1.300 tahun lebih dari bangsa Arab
supaya diserahkan kepada satu Badan Internasional. Tegasnya, kepada PBB
sedangkan yang berkuasa penuh dalam PBB itu adalah negara-negara Kristen.
(Perancis Katolik, Amerika Protestan, Inggris Anglicant, dan Rusia Komunis)…”
“… Sambungan ayat, “Dan
barangsiapa yang menjadikan mereka itu pemimpin diantara kamu, maka
sesungguhnya dia itu telah termasuk golongan dari mereka.”
Suku ayat ini amat penting
diperhatikan. Yaitu barangsiapa yang mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi
pemimpinnya, tandanya dia telah termasuk golongan mereka, Artinya telah
bersimpati kepada mereka. Tidak mungkin seseorang yang mengemukakan orang lain
jadi pemimpinnya kalau dia tidak menyukai orang itu. Meskipun dalam kesukaannya
kepada orang yang berlain agama itu, dia belum resmi pindah kedalam agama orang
yang disukainya itu. Menurut riwayat dari Abdu Humaid, bahwa sahabat Rasulullah
saw yang terkenal Hudzaifah bin al-Yaman berkata: “Hati-hati tiap-tiap seorang daripada kamu,
bahwa dia telah menjadi Yahudi atau Nasrani sedang dia tidak merasa.” (Fathul
Qodir, Juz 2 hlm. 53)
Lalu dibacanya ayat yang sedang
kita tafsirkan ini, yaitu kalau orang telah menjadikan mereka itu jadi
pemimpin, maka dia telah termasuk golongan orang yang diangkatnya jadi pemimpin
itu.
Perhatikanlah bagaimana
bangsa-bangsa penjajah Kristen yang telah menaklukkan negeri-negeri Islam, yang
mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh ialah mengajarkan bahasa
mereka, supaya rakyat Islam yang terjajah itu berpikir dalam bahasa bangsa yang
menjajah, lalu mereka lemah dalam bahasa sendiri dan terpengaruh dengan
peradaban dan kebudayaan bangsa Kristen yang menjajahnya itu. Kian lama kian
hilanglah kepribadian umat yang terjajah tadi, hilang pokok asalnya berpikir
dan hilang perkembangan bahasanya sendiri. Lalu yang dipandangnya tinggi ialah
bangsa yang menjajahnya itu. Hal ini telah kita alami di zaman penjajahan
Belanda di Indonesia dan penjajahan Perancis di Afrika Utara, dan penjajahan
Inggris di Tanah Melayu dan India. Maka orang yang pangkalannya berpikir masih
dalam Islam, merasa rumitlah menghadapi orang-orang yang mengaku Islam ini,
sebab dan telah berpikir dari luar Islam.
Bertahun-tahun lamanya kita yang
memperjuangkan Islam musti memberikan kepada mereka keterangan agama sepuluh
kali lebih sulit daripada memberi keterangan kepada seorang Amerika atau Eropa
yang ingin memeluk Islam. Sebab, rasa cemooh kepada agama, sinis, acuh tak acuh
telah memenuhi sikapnya; mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek yang meminta
keterangan agama yang masuk akal.
Padahal, akalnya itu telah
dicekok oleh didikan asing, sehingga kebenaran tidak bisa masuk lagi.
Kadang-kadang terhadap orang seperti ini, seorang Muslim yang taat harus
bersikap seperti “Menatang minyak penuh”, sebab batinnya pantang tersinggung.
Bukan akal mereka yang benar cerdas atau rasionalis melainkan jiwa mereka yang
telah berubah, sehingga segala yang bagus adalah pada bangsa yang menjajah
mereka, dan segala yang buruk adalah pada pemeluk agamanya sendiri.
Orang semacam inilah yang
disebutkan oleh Ibnu Khaldun didalam Muqaddimah tarikhnya, (Pasal ke II, Kitab
Pertama, no. 23). Kata beliau, “Orang yang kalah selalu meniru orang yang
menang, baik dalam lambangnya, atau dalam cara berpakaian, atau kebiasaannya
dan sekalian gerak-gerik, dan adat-istiadatnya. Sebabnya ialah karena jiwa itu
selalu percaya bahwa kesempurnaan hanya ada pada orang yang telah
mengalahkannya itu. Lalu dia menjadi penurut, peniru. Baik oleh karena sudah sangat
tertanam rasa pemujaan atau karena kesalahan berpikir, bahwa keputusan bukanlah
karena kekalahan yang wajar, melainkan karena tekanan rasa rendah diri yang
menang selalu benar!”
Barangsiapa yang mengangkat
pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti bahwa mereka mengalih
agama. Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam
telah hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka
kepada bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka keberatan menjual agama dan
bangsanya dengan harga murah.
Ketika Belanda sudah sangat
kepayahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan mereka
sehingga nyaris gagal maka yang menunjukkan cara bagaimana memusnahkan dan
mematahkan perlawanan itu ialah seorang jaksa beragama Islam yang didatangkan
dari luar Aceh. Dia memberikan advis supaya Belanda mendirikan tentara Marsose
yang selain dari memakai bedil dan kelewang, hendaklah mereka memakai rencong
juga, sebagaimana orang Aceh itu pula, buat memusnahkan pahlawan Muslimin Aceh
yang masih bertahan secara gerilya. kononnya beliau dalam kehidupan pribadi
adalah seorang Islam yang taat shalat dan puasa. dan dia mendapat bintang
Willemsorde dari Belanda karena jasanya menunjukkan rahasia-rahasia umatnya
seagama itu.
Orang seperti ini banyak terdapat
dalam sejarah. Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi
balas jasa, yaitu bintang! Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh sahabat
Rasulullah saw tadi, yaitu mereka telah menjadi Yahudi, dan disini telah menjadi
Nasrani, padahal mereka tidak sadar.”
“Sesungguhnya Allah tidaklah
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (ujung ayat 51)
Maka, orang yang telah mengambil
Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya,
sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap.
mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari
dalam jiwa mereka. mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh
pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah
bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka
ridha, sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang
pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman
mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
Demikian penjelasan Buya Hamka
tentang makna QS al-Maidah:51. Selama puluhan tahun, tidak ada satu makhluk pun
di Indonesia yang menuduh Buya Hamka telah membohongi dan membodohi umat Islam,
menggunakan QS al-Maidah:51. Barulah, pada 27 September 2016, beredarlah pidato
di Pulau Seribu yang sangat bersejarah itu. Ini masalah serius. Masalah iman
Islam, dan masalah kehormatan Alquran dan para
pewaris Nabi. Terlalu remeh, jika kasus ini dikaitkan dengan Pilkada
DKI.
Siapakah manusia-manusia yang
dengan suka cita dan bangga telah menjadikan kaum Yahudi-Nasrani sebagai
pemimpin, dengan mengabaikan kaum muslimin? Jawabannya, ada pada ayat
berikutnya: “Maka akan engkau lihat orang-orang yang di dalam hatinya ada
penyakit, berlomba-lombalah mereka kepada mereka, berkata mereka: “Kami takut
bahwa akan menimpa kepada kami kecelakaan.” Maka moga-moga Allah akan
mendatangkan kemenangan atau suatu keadaan dari sisi-Nya. Maka jadilah mereka
itu, atas apa yang mereka simpan-simpan dalam hati mereka, menjadi orang-orang
yang menyesal.” (QS al-Maidah: 52).
Buya Hamka menjelaskan makna ayat
ini: “Inilah kalimat yang tepat. Bahwasanya yang mau menjadikan Yahudi dan
Nasrani menjadi pimpinan, tidak lain daripada orang yang di dalam hatinya telah
ada penyakit. Penyakit, terutama yang pertama ialah munafik. Yang kedua ialah
agamanya itu hanya sekedar nama sebutan belaka, sebab mereka kebetulah
keturunan orang Islam. Bagi mereka sama saja, apakah pimpinan itu Islam atau
Yahudi atau Nasrani, asal ada jaminan hidup. Bahkan, sampai kepada zaman kita
telah merdeka sekarang ini, masih belum sembuh benar penyakit itu.”
Setelah kasus Basuki Tjahaja
Purnama, semoga nanti tidak muncul pula orang-orang yang mengaku munafik dan
menuduh Buya Hamka serta para ulama Islam telah membohongi umat Islam dengan
memakai al-Maidah:52. Namun, kita pun diingatkan Alquran, agar tidak perlu
risau dengan berbagai ucapan aneh-aneh yang mengajak kepada keraguan dan
kekufuran. Mereka akan berhadapan dengan Allah. “Maka janganlah ucapan mereka
itu merisaukan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan
dan apa yang mereka nyatakan.” (QS Yasin: 76).
Kewajiban kita hanyalah
mengingatkan, melanjutkan misi dakwah para Nabi. Kita akan bertanggung jawab
terhadap pilihan dan amal perbuatan kita masing-masing. Wallahu A’lam.
Depok, 13 Oktober 2016. Rol
0 komentar:
Post a Comment