Oleh: Dr. Adian Husaini
Mohammad Natsir (1908-1993)
dikenal sebagai pejuang Islam Indonesia yang pada 2008 mendapat penghargaan
sebagai Pahlawan Nasional. Natsir juga seorang pemikir dan pelopor pendidikan
Islam. Tulisan-tulisannya yang dihimpun dalam buku Capita Selecta menunjukkan
ketinggian keilmuan M. Natsir. Meskipun hanya mengenyam pendidikan formal
setingkat AMS (Algemene Middelbare School), setingkat SMA sekarang, tetapi
Natsir memiliki kacintaan yang sangat tinggi dalam mencari ilmu.
Tumbuh dalam asuhan pendidikan
keagamaan oleh A. Hassan, seorang tokoh modernis, Natsir mampu mengembangkan
pemikirannya jauh melampui lingkungan pendidikan formalnya. Pada sekitar tahun
1930-an, dalam usia sekitar tiga puluhan, Natsir telah aktif menulis tentang
berbagai persoalan keilmuan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah dengan
berbagai kalangan. Melalui tulisan-tulisannya, ketika itu, tampak Natsir sudah
membaca berbagai literatur tentang aqidah, sejarah, ilmu kalam, tasawuf,
filsafat, syariah, perbandingan agama, dan sebagainya. Hampir dalam setiap
tulisannya, Natsir mampu meramu dengan baik, sumber-sumber dari kalangan Muslim
maupun karya-karya orientalis Barat. Ambillah satu contoh sebuah artikel
berjudul ”Muhammad al-Ghazali (450-505 H, 1058-1111)”, yang dimuat di majalah
Pedoman Masyarakat, April 1937.
Dalam artikel ini, Natsir
memaparkan keagungan pemikiran dan kiprah al-Ghazali dibandingkan dengan
prestasi ilmuwan-ilmuwan Barat. Kitab Maqashidul Falasifah-nya al-Ghazali,
misalnya, sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin pada
abad ke-12 M. Di sini, Natsir juga menguraikan teori kausalitas al-Ghazali yang
mendahului teori David Hume (1711-1776) tujuh ratus tahun sebelumnya. Natsir
membantah bahwa David Hume lah sarjana pertama yang mengungkap teori kausalitas
(causaliteitleer). Natsir tidak menolak jasa David Hume dalam soal ini. Tetapi,
tulisnya, ”jangan dilupakan, bahwa 700 tahun sebelum David Hume, telah pernah
seorang filosof Muslim di daerah Timur yang mengupas masalah ini dalam
Kitabnya, Tahafutul Falasifah.”
Setelah mengupas sedikit teori
kausalitas al-Ghazali, Natsir mengingatkan: ”Aneh! Hal ini rupanya tidak hendak
diingat orang. Dan kalau kita ketahui bahwa seorang filosof Barat sebagai Immanuel
Kant mengakui, bahwa David Hume-lah yang membukakan matanya, dapatlah kita
mengira-ngirakan betapa besar kadarnya kekuatan ruhani Ghazali dibandingkan
dengan filosof-filosof yang masyhur di Barat itu.”
Kemudian, secara khusus, Natsir
memberi komentar terhadap pemikiran al-Ghazali: ”Kalau Imam Ghazali oleh karena
ini tidak dinamakan seorang filosof-’aqli, maka itu tidak berarti bahwa akalnya
kurang dipakai dibandingkan dengan filosof yang lain-lain. Tak kurang
Al-Ghazali mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan
pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam sekali dalam
kitabnya yang tersebut di atas. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan tak
kurang pula menyusun ilmu-ilmu yang tahan uji dibandingkan dengan
karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman akalnya
dan memakai akal itu sebagai salah satu nikmat yang dikurniakan Allah kepada
manusia. Tapi dalam pada itu ia tidak hendak lupa, bahwa akal ini pun dapat
bekerja hanya sampai kepada suatu batas yang tak dapat dilampaui. Apabila
filosof yang lain masih terus juga menurunkan akal itu ke mana-mana, di bawa
oleh akal itu sendiri, walaupun sudah bukan medan pekerjaannya lagi, -- serta
menjadikan akal sebagai hakim yang menghabiskan dalam semua hal --, pada saat
yang demikian itu Imam Ghazali tidak enggan berkata dengan khusyu’ ”wallahu
a’lam!” – ”Allah yang lebih mengetahui!” – dan kembali kepada Kitab (Al-Quran),
Yang tak syak lagi menjadi petunjuk bagi mereka yang takwa.”
Melalui artikel yang pendek
tersebut, Natsir menguraikan jasa-jasa besar al-Ghazali bagi umat Islam,
disamping juga kontroversi terhadap pemikirannya dan apresiasi para ilmuwan
Barat terhadapnya. Terhadap kontroversi terhadap pemikiran al-Ghazali, Natsir
menulis, bahwa itu: ”... ialah suatu hal yang galib diterima oleh setiap orang
yang berjalan di muka bumi merintis jalan baru, yang mendengarkan suara
keyakinan yang teguh yang berbisik di dalam hati, dan tidak hendak turut-turut
ke hilir ke udik, seperti pucuk aru dihembus angin.”
Penguasaan Natsir terhadap
pemikiran-pemikiran para pemikir Muslim klasik bisa dilihat dalam berbagai
artikelnya dalam buku Capita Selecta yang mengupas sosok dan pemikiran Ibnu
Thufail, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Abu Nasr Al-Farabi, Ikhwan as-Shafa, juga
kupasannya tentang aliran Mu’tazailah dan Ahli Sunnah. Meskipun sangat memahami
seluk beluk peradaban Barat, melalui berbagai tulisannya yang mengupas
keagungan sejarah peradaban dan pemikir Muslim, Natsir menyampaikan pesan yang
jelas kepada kaum Muslim: ”Jangan merasa
rendah diri melihat kehebatan peradaban Barat!” (***).
0 komentar:
Post a Comment