Oleh Syahrudddin El-Fikri,
Jurnalis Republika, GM Redaksi dan Promosi Republika Penerbit
JAKARTA --
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan data The United Nation of
Education, Social, and Cultural (Unesco) Tahun 2012, jumlah warga masyarakat
yang memiliki minat baca hanya 1:1000. Artinya, dari 1000 orang penduduk
Indonesia, hanya satu yang memiliki minat baca. Sisanya atau 999 orang, kurang memiliki
keinginan untuk membaca.
Dari data tersebut, dari 255 juta
jiwa penduduk Indonesia terdapat 255 ribu orang yang suka membaca. Dan sebanyak
252,45 juta jiwa tak ada keinginan untuk membaca. Sungguh sangat memprihatinkan
bila melihat angka tersebut.
Ada perasaan miris, sedih, dan
keresahan. Upaya founding father bangsa ini untuk menjadikan Negara Indonesia
semakin maju, tampaknya masih jauh dari harapan. Jangankan hendak membandingkan
dengan negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) yang setiap warganya sudah
membaca minimal sebanyak tujuh buku dalam setahun, dengan Jepang bahkan
Malaysia pun, kita masih jauh. Dalam setahun, sedikitnya masyarakat Jepang
membaca tiga hingga empat judul buku baru, sedangkan di Malaysia, warganya
paling sedikit satu buku dibaca oleh tiga orang.
Bagaimana dengan bacaan warga
negara Indonesia (WNI)? Mari kita lihat data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)
dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2015. Dari 711 anggota Ikapi yang
aktif, jumlah buku yang diusulkan untuk mendapatkan International Standard Book
Number (ISBN) sebanyak 44.128 judul baru. Bila dirata-rata, maka dari 711
penerbit itu hanya menerbitkan sekitar 62 judul per tahun.
Lalu jika itu dibagi kepada
seluruh masyarakat yang memiliki minat baca (255 ribu orang), maka jumlahnya
satu buku baru dibaca oleh 6-7 orang per tahun. Akan semakin mencengangkan bila
jumlah buku baru yang terbit itu dibagi kepada seluruh warga negara Indonesia
yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Yakni, dari 5.715 orang hanya satu
yang membaca buku baru. Alangkah menyedihkannya.
Berdasarkan data-data tersebut,
maka upaya pendiri bangsa ini untuk mewujudkan generasi yang cerdas sebagaimana
yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, sepertinya makin susah diwujudkan.
Pantaslah bila bangsa kita selalu dikecilkan alias kurang dianggap saat
berhadapan dengan bangsa-bangsa lain.
Penyair Indonesia yang juga
seorang sastrawan, Taufiq Ismail (80 tahun), dalam berbagai kesempatan
berbincang dengan penulis, sering mengeluh ketika melihat rendahnya budaya baca
generasi bangsa Indonesia. Dahulu, kata Pak Taufiq (demikian saya memanggil
beliau), di zaman beliau setiap siswa diminta oleh guru untuk menyelesaikan
membaca sekitar empat-lima buku dalam setahun. Itu pun sebagiannya berbahasa
Belanda dan Inggris.
“Lha, sekarang ini, tidak ada
kewajiban bagi siswa untuk menyelesaikan membaca buku dalam setahun,” ujarnya.
“Saya tidak tahu, siapa yang harus dipersalahkan dalam masalah ini. Para
siswa-kah, orang tua, guru, sekolah, mendikbud, atau pemerintah yang tidak
mewajibkan para siswa untuk membaca,” ujar pria berusia 80 tahun itu.
Tak hanya membaca, budaya menulis
pun juga demikian. Pada tahun 1970-1990-an, para siswa di sekolah masih
mendapatkan pelajaran mengarang (menulis berdasarkan imajinasi para siswa).
Sekarang ini sudah tak diajarkan para siswa untuk membuat karangan saat di
bangku sekolah. Kalau pun ada, itu hanya sebatas tugas akhir (TA), terutama
untuk para siswa di sekolah menengah atas (SMA/sederajat). Sementara untuk
pelajar sekolah dasar (SD) dan siswa sekolah menengah pertama (SMP), pelajaran
mengarang atau mengerjakan tugas akhir tidak ada sama sekali.
Dampak dari hal tersebut, maka
dapat kita saksikan sekarang ini. Alih-alih mereka pandai (cerdas) dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan skill, untuk menulis sebuah karya saja
mereka kurang mampu. Bahkan (maaf) banyak isu berkembang, sarjana pun pada
akhirnya ‘meminta bantuan’ kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas akhir
(skripsi). Padahal, setiap tahun bangsa ini melahirkan ribuan sarjana.
Karena itu, bila hal ini tidak
segera diperbaiki, terutama untuk ‘kewajiban’ membaca buku minimal satu atau
dua judul buku dalam setahun, niscaya bangsa kita akan semakin tertinggal
dengan bangsa-bangsa lain.
Penulis sangat mengapresiasi
upaya yang dilakukan Mendikbud Anies Baswedan dalam upaya menumbuhkan minat
baca ini. Setidaknya, kini di sekolah sudah gerakan membaca minimal 15 menit
sebelum pelajaran di mulai. Walaupun hal ini bisa dibilang terlambat, tapi
upaya ini masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Hal ini memberikan secercah
harapan akan mulai tumbuhnya minat baca dan berkurangnya buta aksara. Sebab,
merujuk pada data BPS, hingga tahun 2010, jumlah masyarakat Indonesia yang
tidak bisa membaca dan menulis (buta huruf) sebanyak 7.752.627 orang, yang
terdiri atas 2.816.207 orang pria, dan 4.936.420 orang wanita. Sebanyak 722.774
orang berusia antara 15-24 tahun, 2.725.913 orang berusia 25-44 tahun, dan
sebanyak 4.303.940 orang berusia 45 tahun ke atas.
Setiap tahun, jumlah warga negara
Indonesia yang buta aksara terus menurun. Dalam 10 tahun terakhir (2005-2015),
dari sekitar 15 juta orang kini tersisa sekitar 4-5 juta jiwa. Harapannya angka
ini semakin menipis dan puncaknya nol persen atau tidak ada lagi masyarakat
yang tidak bisa membaca maupun menulis.
Melepaskan kebutahurufan dan
keaksaraan ini tentunya bukan sebatas pada tugas pemerintah semata. Ini juga
bukan hanya tugas guru di sekolah, atau orang tua di rumah, tetapi ini tugas
setiap individu, tugas kita semua untuk maju, dan hak setiap pribadi untuk
mendapatkan (akses) pendidikan serta buku-buku bacaan.
Masyarakat yang berada di
perbatasan negara tetangga atau pulau terpencil dan terluar wilayah Indonesia
juga berhak mendapatkan buku dan akses pendidikan. Sebab, masyarakat terluar
dan terpencil memiliki potensi yang sangat besar mengalami buta huruf akibat
minimnya sumber bacaan dan sulitnya mendapatkan akses pendidikan.
Tanpa dukungan, bantuan dan kerja
sama semua pihak, maka kondisi masyarakat —terutama masyarakat Indonesia yang
berada di wilayah terluar dan terpencil— akan semakin buruk. Untuk itulah
perlunya berbagai upaya, mulai dari Gerakan Indonesia Membaca, Gerakan
Indonesia Menulis, Gerakan Berantas Buta Aksara, hingga Gerakan Wakaf Buku
perlu digalakkan. Demi membebaskan Indonesia dari buta aksara, dan mencerdaskan
seluruh rakyat Indonesia. REPUBLIKA.CO.ID
0 komentar:
Post a Comment