Dai yang mengedepankan
popularitas hanya akan melahirkan umat yang menjadikan dakwah sebagai tontonan,
bukan tuntunan. Seorang dai harus ikhlas berjuang, meski sepi dari riuh rendah
sanjung dan pujian. Cahaya dakwah tak boleh kalah oleh silau gemerlap
keduniaan.
Suatu ketika, seorang mubaligh
muda datang bersilaturrahim ke rumah Syaikh Ahmad Soorkati, pendiri organisasi
Al-Irsyad Al-Islamiyah. Sebagai seorang alim, Syaikh Soorkati diminta
nasihatnya tentang perjuangan di jalan dakwah. Dengan bahasa yang sangat
menyentuh, Syaikh Soorkati mengatakan, “Jalan yang engkau pilih ya waladi
(wahai anakku) adalah jalan kefakiran dan kepapaan…tapi agung, karena itu
adalah jalan yang ditempuh para anbiya (Nabi-nabi) dan mursalin (Rasul-rasul),”ujarnya
lembut.
Cerita tentang Syaikh Soorkati
dan mubaligh muda di atas dikisahkan oleh KH Mohammad Isa Anshari, tokoh
Masjumi yang dikenal piawai dalam berdakwah. Dalam buku “Mujahid Dakwah” yang
ditulisnya, dai yang terkenal sebagai singa podium dan anti Komunis ini
menulis, “Akidah Islamiyah yang kita jadikan pegangan hidup, kita serukan
kepada manusia, kita bela dengan segala cara, kita perjuangkan dengan segala
kepenuhan hati dan kesungguhan, tidak pernah menjanjikan kesenangan dunia…” tulis
Isa Anshari.
Karena itu, Isa Anshari
menegaskan, sebagai seorang Muslim, sebagai seorang dai, idealisme yang harus
dikedepankan bukanlah materi dan kesenangan duniawi. Seorang mujahid dakwah,
katanya, adalah seorang yang menyerahkan dirinya tanpa syarat kepada tegaknya
kalimatullah. Isa Anshari mengatakan, seorang dai harus sadar bahwa tampilnya
ia sebagai juru dakwah bukan karena sanjung dan pujian. Seorang dai harus mawas
diri bahwa segala pujian adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Kekuatan seorang dai bukan pada
pesona pribadinya, tapi pada kekuatan dakwahnya, kekuatan dalam menyampaikan
hujjah yang bisa diterima oleh akal sehat, dan daya panggilnya yang bisa
menjemput jiwa dan rasa.”~ Moh. Natsir
Puja dan puji kepada seorang dai
adalah “racun berbisa” yang bisa merusak gerak dakwah dan menciptakan kultus
individu. Dengan bahasa yang menggugah, ulama asal Maninjau, Sumatera Barat,
itu menuturkan, “Dakwah bukanlah jalan yang mengantarkan kita kepada kesenangan
hidup dan kemewahan dunia, tapi justru kesengsaraan badan yang akan menjadi
nasib, yang akan menjadi bahagian diri sebagai tunangan dari keyakinan dan
perjuangan. Tenaga badan terasa lemah, tetapi tenaga iman bertambah kuat,
tegap, dan segar,” tuturnya.
dakwah
Dalam karya masterpiece-nya yang
berjudul “Fiqhud Dakwah”, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),
Allahyarham Mohammad Natsir mengatakan, kekuatan seorang dai bukan pada pesona
pribadinya, tapi pada kekuatan dakwahnya, kekuatan dalam menyampaikan hujjah
yang bisa diterima oleh akal sehat, dan daya panggilnya yang bisa menjemput
jiwa dan rasa. Natsir menegaskan, jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat
ananiyah (egoisme pribadi) yang bisa menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur
(merasa besar/angkuh), riya’ (pamer), dan ujub (ingin menonjolkan diri).
“Dakwah bukanlah jalan yang
mengantarkan kita kepada kesenangan hidup dan kemewahan dunia, tapi justru
kesengsaraan badan yang akan menjadi nasib, yang akan menjadi bahagian diri
sebagai tunangan dari keyakinan dan perjuangan. Tenaga badan terasa lemah,
tetapi tenaga iman bertambah kuat, tegap, dan segar.”
Jika sikap takabbur sudah
bersemayam dalam niat tempat bertolak, kata Natsir, maka akan muncul sikap
hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujungnya kembali pada selera “aku”
pribadinya. Diantara bentuk sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang dai
adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan),
ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu, menurut Natsir, bersumber
pada keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir maupun batin.
Natsir mengingatkan, “Di bawah
kekuasaan hawa ananiyah ini seorang mubaligh mudah sekali melakukan
bermacam-macam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang,
berpantang rujuk (kembali pada kebenaran), menghela surut walaupun sudah nyata
keliru fatwa. Kemudian tajammul, mencari muka dengan mendekatkan diri pada
orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang mubaligh akan kehilangan harga
diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut,” kata Natsir.
Penerus Natsir, Ustadz Syuhada
Bahri yang kini pernah menjabat sebagai Ketua Umum DDII mengatakan, dai yang
bisa melahirkan pengikut adalah dai yang memiliki ilmu. “Yang ia berikan ilmu.
Tapi kalau yang melahirkan penggemar, ia hanya punya kemampuan entertaint.
Ilmunya hanya diputar-putar di situ saja. Kalau yang lahir penggemar, jika
dainya berbuat sesuatu yang tidak disetujui penggemarnya, maka dakwahnya akan
bubar. Tapi kalau dai yang melahirkan pengikut, tidak. Sebab ukurannya nilai,
bukan orangnya,” terang dai yang mengalami asam garam dakwah di pedalaman
terpencil ini.
Tokoh pergerakan internasional,
Syaikh Fathi Yakan menyebutkan, diantara karakteristik dakwah dan dai yang
harus diterapkan para kafilah dakwah adalah melakukan uzlah dalam pengertian
maknawi, yaitu mengisolasi diri dari hawa nafsu duniawi dan sistem jahiliyah.
Seorang dai, kata Fathi Yakan, adalah orang yang membawa prinsip-prinsip dakwah
Rabbaniyah, yaitu segala konsep, hukum, akhlak, tradisi, dan ide-ide yang
bersumber dari dienullah dan risalah Rasul-Nya. Prinsip-prinsip ini tak boleh
dikotori oleh kepentingan duniawi.
Sunatullah dakwah adalah penuh
onak dan duri, bukan sanjung dan puji. “Berharap senang dalam berjuang…bagai
merindukan rembulan di tengah siang,” begitu senandung nasyid mengalun merdu.
Sunatullah dakwah juga dijalani
oleh para Nabi dan Rasul. Habib Muhammad Rizieq Syihab, Ketua Umum Front
Pembela Islam, mengatakan, “Jika perjuangan dakwah yang kita jalani selama ini
lancar dan aman-aman saja, kita justru perlu bermuhasabah, jangan-jangan ada
yang salah dalam dakwah kita.”
Berdakwah menegakkan kalimatullah
adalah panggilan tugas dan perjuangan seorang Muslim. Karena itu, seorang dai
harus siap berjuang di tengah sunyi senyap sanjung dan pujian. Allah Subahanahu
wa Ta’ala berfirman, ”Beramallah kalian, dan Allah pasti akan melihat amalan
kamu, dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan
kepada-Nya, yang Maha Tahu hal yang gaib dan yang nampak, dan Dia memberi tahu
kamu apa yang telah kamu perbuat.” (At-Taubah:105). /Artawijaya
0 komentar:
Post a Comment