Hampir setiap hari di negeri kita
selalu dikumandangkan hubungan mayoritas dan minoritas. Pada umumnya esensinya
adalah agar mayoritas melakukan toleransi bahkan perlindungan terhadap
minoritas. kalau tidak dilakukan, selalu ditempatkan pada posisi intoleran dan
tidak Bhinneka Tunggal Ika.
Padahal fakta mayoritas dan
minoritas di Indonesia ada dua dimensi. Ada mayoritas dan minoritas dilihat
dari jumlah, ada mayoritas dan minoritas dari segi potensi dan peranan di
Indonesia.
Biasanya kalau menyebut mayoritas
ditinjau dari segi populasi maka artinya adalah pribumi. Sedangkan kalau
ditinjau dari segi keagamaan yang dimaksud adalah umat Islam. Dengan demikian,
maka selebihnya dari itu disebut minoritas.
Sehubungan dengan sistem
ketatanegaraan yang masih liberalistik dalam politik yang justru membuahkan
sub-sistem ekonomi yang sentralistik, maka terjadilah mayoritas dalam jumlah
baik tinjauan populasi maupun agama berposisi sebagai minoritas di bidang
kemampuan ekonomi, bahkan kemampuan tata kelola nasional/internasional. Dalam
konteks ini, minoritas mempunyai potensi ekonomi jauh lebih besar dibanding
dengan mayoritas dalam jumlah yang posisi ekonominya masih rendah.
Pertanyaannya sekarang, bahwa
mayoritas dalam populasi dan agama relatif telah melakukan toleransi dan
perlindungan sekalipun tentu belum optimal karena terjadinya pergesekan
disana-sini. Yang belum terlihat di Indonesia adalah toleransi minoritas yang
berkekuatan mayoritas di bidang ekonomi dan perananan membagi toleransinya
kepada mayoritas yang rendah potensinya.
Memang toleransi di bidang
ekonomi dan peranan global tidak mungkin dengan sendirinya terjadi tanpa usaha
keras dari negara dan bangsa. Kita sulit menunggu terjadinya homo homini sosius
(ekonomi berwatak sosial) karena pada hakikatnya ekonomi itu bersifat homo
homini lupus (eksploitasi dari ekonomi kuat kepada ekonomi yang lemah).
Ada tiga syarat besar dan berat
untuk menciptakan homo homini sosius di bidang ekonomi, yakni:
a. Sistem ekonomi di dalam ketatanegaraan dan
konstitusi serta perangkat aturan perundangan di Indonesia yang menjamin
terselenggaranya pemerataan ekonomi.
b. Penyelenggara negara yang konsisten dalam
menjalankan jalur-jalur pemerataan tersebut. hal ini tidaklah gampang karena
menyangkut masalah kepentingan dan masalah keinginan seseorang di dalam
menumpuk kekayaan.
c. Kesiapan mental ekonomi kerakyatan, skill,
dan kesempatan yang sama di dalam mencari rejeki serta perlindungan usaha-usaha
kecil.
Tiga hal tersebut yang merupakan
syarat mutlak pemerataan dan kemakmuran masih terlihat sangat dini di
Indonesia.
Sedangkan ekonomi global yang
sebelum tahun 1992 masih terbagi menjadi blok Timur yang proletar dan blok
Barat yang kapitalistik sudah usai. Yang terjadi sekarang setelah selesainya
perang dingin, Barat dan Timur bersatu dalam monopolar (satu pola pemikiran)
tidak lagi bipolar yang bertentangan antara proletariat sosialis dan
kapitalistik imperialis. Bersatunya kedua kutub ini disatukan oleh filsafat
materialisme yang sesungguhnya merupakan induk dan akar yang sama dari dua
kutub kapitalis dan proletariat.
Contohnya Tiongkok yang semula
mendengungkan proletariatisme, sekarang meloncat menjadi investor-investor dan
agresi ekonomi ke seluruh negara yang hampir mengalahkan Amerika sendiri.
Agresi Barat dan Timur yang besatu mencari sumber-sumber ekonomi dunia tentu
menjadikan negara-negara yang berpotensi energi, tanah, dan air menjadi
sasarannya, termasuk Indonesia.
Sehingga yang menjadi refleksi
kita, dimana posisi Indonesia di dalam perebutan potensi ekonomi tersebut, dan
ketahanan Indonesia sendiri sehingga Indonesia tetap milik Indonesia.
Semoga Allah melindungi kita
semua, Amin.
0 komentar:
Post a Comment