Oleh: Mahmud Yunus
Dalam kitab Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban
diceritakan sebuah kisah nyata yang sangat memikat diperankan seorang sahabat
dengan julukan Abu Qibalah. Khususnya, di kalangan pengamat isnad hadis dia
sudah sangat dikenal.
Namanya sering kali disebut dalam isnad hadis. Dia
adalah salah seorang perawi hadis dari (jalur) Anas bin Malik. Salah seorang
dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Selain itu, dia juga
seorang perawi hadis dari (jalur) Malik bin al-Khuwairits.
Abdullah bin Muhammad menuturkan, suatu hari dia
keluar menuju tepi pantai untuk memantau kawasan tersebut dari kedatangan
musuh. Tanpa terasa, dia telah berada di sebuah dataran yang cukup lapang di
tepi pantai.
Di sana, terdapat sebuah kemah yang dihuni pria
dengan kedua tangan dan kedua kaki yang buntung. Pendengaran dan penglihatan
dia sudah tidak berfungsi dengan baik. Bahkan, seluruh anggota tubuhnya sudah
tidak berfungsi, kecuali lidahnya.
Dengan lidahnya, dia berkata: “Ya Allah, bimbinglah
aku agar bisa memuji-Mu, sehingga aku bisa mensyukuri segala nikmat yang telah
Engkau berikan kepadaku. Sungguh, Engkau telah melebihkan aku di atas
kebanyakan makhluk-Mu yang lain.”
Mendengar semua itu, Abdullah berkata dalam
hatinya, “Demi Allah, aku akan mendatangi pria itu. Aku akan bertanya, mengapa
dia mengatakan semua itu. Apakah dia memahami yang diucapkannya? Ataukah, itu
sebentuk ilham yang diturunkan dari langit kepadanya?”
Abdullah bertanya, “Wahai saudaraku, nikmat mana
yang telah Allah berikan, sehingga kamu merasa perlu memanjatkan puji
kepada-Nya? Kelebihan apa yang telah Allah berikan kepadamu, sehingga kamu
merasa perlu memanjatkan syukur kepada-Nya?”
Pria tersebut menjawab, “Tidakkah engkau lihat yang
telah Rabbku lakukan terhadapku? Demi Allah, seandainya Dia memerintahkan petir
untuk menghajar tubuhku sehingga terbakar atau memerintahkan gunung-gunung
untuk menindih tubuhku sehingga remuk atau memerintahkan laut untuk menyeretku
sehingga tubuhku tenggelam atau memerintahkan bumi untuk menelanku sehingga
tubuhku terbenam, niscaya hal itu akan membuatku lebih bersyukur lagi
kepada-Nya. Lantaran, Dia telah memberikan kenikmatan luar biasa kepadaku
berupa lidahku ini.”
Kemudian, pria itu meminta bantuan kepada Abdullah.
“Engkau telah melihat keadaanku, bukan? Aku sungguh tidak bisa menolong diriku
sendiri dalam kondisi seperti ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi,”
katanya.
Menurut pria itu, dia memiliki seorang anak yang
selalu melayaninya. Saat waktu shalat tiba, anak itulah yang membantunya
bewudhu. Saat lapar, dialah yang menyuapiku. Saat haus, dialah yang memberi
minum. Tapi, sudah tiga hari ini anak itu tidak menemuinya.
Ia memohon agar Abdullah bersedia mencari kabar
tentang anaknya. Abdullah segera berlalu untuk mencari keberadaan anak
(laki-laki) tersebut. Konon, tidak terlalu jauh dari kemah pria tersebut
Abdullah melihat gundukan pasir.
Ternyata, di bawah gundukan pasir itulah terkubur
sesosok mayat. Anak yang baik hati itu rupanya telah tewas diterkam binatang
buas. Abdullah berpikir keras bagaimana menyampaikan berita duka itu agar pria
tersebut tidak larut dalam nestapa.
Di tengah perjalanan menuju kemah, dalam pikiran
Abdullah terlintas kisah Nabi Ayyub. Sesampainya di kemah, Abdullah mengucapkan
salam. Pria itu pun menjawab salamnya.
Lalu, pria itu bertanya: “Bukankah engkau adalah
pria yang tadi menemuiku? Bagaimana dengan permintaanku?” Abdullah menceritakan
kabar buruk yang telah menimpa anaknya dengan menggambarkan kesabaran dan
kesyukuran Nabi Ayyub.
Tujuannya, agar pria tersebut tetap bersabar dan
bersyukur dengan segala peristiwa yang telah menimpa dirinya. Ternyata, pria
tersebut sungguh luar biasa. Dengan tenang, dia menyambut berita duka dengan
mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Setelah itu, dia tampak menarik napas panjang,
kemudian meninggal dunia. Abdullah tersentak menyaksikan peristiwa menyedihkan
itu. Dia segera menutupi wajahnya dengan kain.
Belakangan, Abdullah diberi tahu kalau pria
tersebut adalah Abu Qibalah. Pria yang pandai bersabar dan bersyukur kepada
Allah yang patut diteladani. Nama lengkapnya Abdullah bin Zaid al-Jarmi. Dia
berasal dari Bashrah.
Dia dikenal sebagai salah seorang ahli ibadah dan
ahli zuhud. Dia wafat di Syam pada 104 Hijriyah. Yakni, pada masa pemerintahan
Yazid bin Abdul Malik. Rol
0 komentar:
Post a Comment