Rabu dini hari kemarin
(31/8) tersebar kabar duka, Sulistina Sutomo (91 tahun), istri penggerak jihad
di Perang Kemerdekaan 10 November 1945, Bung Tomo, wafat. Sama halnya dengan
sang suami, meninggalnya almarhumah juga sama-sama persis menjelang Hari Raya
Idul Adha. Bedanya, Bung Tomo wafat di Makkah, sedangkan Ibu Sulistna wafat di
RS Gatot Soebroto, Jakarta.
Sulistina dimakamkan
pada Rabu sore di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngagel, Surabaya. Pusaranya
berdampingan dengan pusara sang suaminya tercinta yang memang dulu telah
memilih agar dimakamkan di pemakaman umum biasa (rakyat) dari pada di Taman
Makam Pahlawan.
Dan ketika mendengar
kabar bahwa istri Bung Tomo wafat, ingatan melayang pada pertemuan dengan putra
beliau, Bambang Sulistomo, pada sore hari menjelang terbenamnya matahari saat
melakukan wukuf di Padang Arafah.
"Bapak dulu
dimakamkan di sana," kata Mas Bambang, panggilan akrab Bambang Sulistomo,
sembari menunjuk ke arah sebuah tempat di dekat area Padang Arafah.
Bagi publik yang hari
ini tengah menaruh perhatian pada soal haji karena dirinya atau keluarga ada
yang tengah melakukan perjalanan haji ke Makkah, sosok Bung Tomo memang perlu
diberi perhatian khusus.
Sebab, selain sebagai
pahlawan nasional, tak banyak orang tahu bahwa Bung Tomolah satu-satunya jamaah
haji asal Indonesia yang ketika meninggal jenazahnya bisa dibawa pulang ke
Indonesia. Selain dia, sampai sekarang tak ada jenazah jamaah haji Indonesia
yang dimakamkan di Tanah Air.
Setahun yang silam, yakni pada waktu terjadinya
musibah robohnya crane di Masjidil Haram dan terjadinya tubrukan
jamaah saat melakukan lempar jumrah di Mina, di publik muncul pertanyaan:
apakah ada perlakuan khusus bagi jamaah haji Indonesia yang wafat di Arab
Saudi?
Jawabnya memang dipastikan: tidak ada sama sekali! Semua jamaah haji yang meninggal pasti langsung dimakamkan di sana.
Jawabnya memang dipastikan: tidak ada sama sekali! Semua jamaah haji yang meninggal pasti langsung dimakamkan di sana.
Tapi, dari semua itu tentu saja ada pengecualian.
Pengecualaian itu ternyata hanya terjadi pada satu orang yang mana itu adalah
seorang warga negara Indonesia.
Lalu siapa orangnya? Tak lain dan tak bukan orang
itu adalah penggerak perlawanan rakyat Surabaya ketika melawan penjajah Belanda
yang saat itu membonceng bala tentara Inggris pada masa perang kemerdekaan,
yakni Bung Tomo!
Nama tokoh satu ini selalu disebut ketika
peringatan Hari Pahlawan. Pidatonya yang menggelegar dengan berulang kali
memekikkan takbir kini sudah diunggah ratusan ribu kali ke Youtube.
Di akhir pidato yang lantang bergelora, Bung Tomo
melalui corong RRI Surabaya menjelang 10 November 1945 dengan suara lantang
menegaskan: ''Dengarlah ini jawaban kita rakyat Surabaya ... Selama
banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah yang dapat membahasi kain
putih, merah dan putih, maka selama itu tidak kita tidak akan menyerah kepada
siapa pun. Merdeka atau mati. Allahuakbar ... Allahuakbar ... Allahuakbar
...!''
Nah, ketika sedang mengenangkan sosok Bung Tomo,
tiba-tiba melintas di dekat kami sesosok pria mungil berkulit kuning langsat,
Bambang Sulistomo. Dia mantan aktivis gerakan mahasiswa. Sewaktu zaman Malari
tahun 1974, dia dimasukkan ke dalam bui oleh rezim Soeharto bersama para
mahasiswa yang saat itu menentang masuknya modal asing asal Jepang. Yang cukup
istimewa, Mas Tom adalah putra Bung Tomo yang legendaris itu.
''Makam aslinya Bapak berada di belakang rumah
sakit di dekat Arafah. Setelah dipulangkan ke Tanah Air, Bapak dimakamkan
kembali di sebuah permakaman umum di Surabaya. Bapak meninggal pada 7 Oktober
1981 di usia 61 tahun,'' lanjut Bambang ketika menceritakan kenangannya tentang
posisi makam sang ayah.
Menurut dia, beberapa saat setelah tersebar kabar
bahwa Bung Tomo wafat saat menjalankan ibadah haji, pada saat itu pula kabar
tentang kencangnya tarik ulur usaha pemulangan jenazah Bung Tomo sangat seru di
media massa. Media massa seperti Majalah Panji Masyarakat dan Harian
Pelita selalu memberitakannya setiap kali terbit.
Adanya tarik ulur terhadap proses pemulangan
jenazah tersebut menjadi menarik karena saat itu Bung Tomo terkenal sebagai
sosok yang sangat kritis terhadap kebijakan rezim Orde Baru. Beberapa tahun
sebelum wafat, pada 11 April 1978, ia sempat ditangkap dan dipenjara karena
menyatakan kebijakan Presiden Soeharto melenceng. Garis politik Bung Tomo saat
itu searah dengan sikap para tokoh senior pendiri Republik Indonesia yang
beberapa tahun setelah dia meninggal kemudian mendirikan Kelompok Petisi 50.
''Bapak wafat ketika tengah berhaji. Sebelum
wafat, dia mengeluh sesak napas'' lanjut Bambang kembali.
Dia kemudian menuturkan, setelah media massa
memberitakannya, ternyata faktanya kemudian sama sekali tak disangkanya.
Presiden Suharto ternyata berperan besar sehingga jenazah bisa dipulangkan ke
Tanah Air.
Seingat Bambang, kala itu Presiden Suharto
memerintahkan para petinggi negara untuk mengusahakan pemulangan jenazah Bung
Tomo.
''Seingat saya, Pak Moerdiono dan Pejabat
Sekretaris Militer Presiden Syaukat Banjaransari, sangat banyak membantu. Tentu
saja ada peran yang sangat besar dari Pak Natsir selaku ketua Rabithah
Al-Islami,'' kata Bambang.
Benar saja, setelah melalui proses berliku,
jenazah Bung Tomo baru bisa dipulangkan delapan bulan kemudian. Saat itu makam
pun dibongkar. Autopsi jenazah untuk memastikan bahwa itu jenazah Bung Tomo
dipimpin oleh ahli forensik Muin Idris.
''Saya yakin itu jenazah Ayah karena di bagian
muka dekat hidungnya saat itu masih bisa dilihat adanya tahi lalat. Nah, proses
autopsi usai, jenazah dibawa pulang. Semula akan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan, tapi kami menolak karena ayah sudah berwasiat agar bila meninggal
dimakamkan di pekuburan biasa saja,'' tutur Bambang.
Dan, terkait soal pemulangan jenazah ini, seorang
keponakan pegawai Bea Cukai yang saat itu turut mengawal kepulangan jenazah
Bung Tomo menceritakan bahwa sang pamannya selama mengawal jenazah dalam
perjalanan Jeddah ke Jakarta tak berani menyentuh makanan dan minuman yang
diberikan awak pesawat. Alasannya, ia takut diracuni karena Bung Tomo waktu itu
disebut sebagai tokoh utama oposisi melawan Pak Harto.
Ketika cerita ini dikonfirmasi, Mas Tom hanya
mengangguk dan tersenyum. ''Ya, itulah Bapak,'' ujarnya pendek.
Setelah berkata itu, Mas Tom kemudian memandangi
perbukitan yang mengelilingi Arafah. Mungkin dia tengah mengenang saat
kesibukannya mengurus pemulangan jenazah ayahanda tercinta yang saat itu wafat
dan dimakamkan di dekat Arafah.
Akhirnya, untuk Bung Tomo dan istrinya, Sulistina
Sutomo: "Allahummaghfirlahum warhamhum."
0 komentar:
Post a Comment