Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika di abad 9-13 M orang menyebut kata falsafah,
maka asosiasinya pasti tertuju pada al-Masysya’un atau Muslim paripatetik.
Sebab para mutakallimun dan fuqaha tahu kata falsafah (filsafat) merupakan
Arabisasi dari kata philosophia. Selain itu para ulama seperti al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dsb., jelas telah berinteraksi dan menimba ilmu
dari khazanah filsafat Yunani dengan tujuan untuk memformulasikan filsafat
Islam. Namun, para orientalis menyimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada
filsafat. Jadi bagaimanakah asal usul dan hakekat filsafat Islam itu?
Terdapat tiga pandangan berbeda terdahap filsafat
Islam. Pertama, mereka yang yakin bahwa tidak ada filsafat Islam, yang ada
hanyalah filsafat Yunani yang nama dan substansinya telah di Arabkan. Kedua,
mereka menolak sama sekali adanya filsafat dalam Islam, karena berfilsafat itu
haram hukumnya. Ketiga, mereka yang berpegang bahwa filsafat Islam itu berasal
dari al-Qur’an dan diperkaya oleh filsafat Yunani. Yang pertama diwakili oleh
orientalis, yang kedua oleh para fuqaha dan muhaddithin dan ketiga adalah
ilmuwan Muslim masa kini. Disini hanya akan dibahas pandangan pertama dan
ketiga.
Alasan menafikan adanya filsafat Islam dari
orientalis bersumber dari arti dan sejarah filsafat Islam. Peter FE misalnya,
melihat sumber filsafat Islam hanya dari Yunani. Kajiannya menyimpulakan bahwa
“dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai
“saudara tiri” filsafat yang juga berasal sumber yang sama yaitu Yunani (the
stepsisters borne by the same mother). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh
Professor Ueberweg dalam bukunya History of Philosophy vol. i, (hal. 405),
bahwa seluruh filsafat Arab hanyalah Aristotelianisme yang dikembangkan kurang
lebih dengan konsep-konsep Neo-Platonik. Jadi filsafat Islam berasal dari
Yunani, baik nama maupun isinya.
De Boer juga melihat dari sisi sejarah. Katanya
“Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama
masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Jadi
filsafat Islam hanyalah hasil asimilasi dan bukan asli dari Islam. Tidak aneh
jika bukunya The History of Philosophy in Islam membahas secara berlebihan Sains
Yunani dan Wisdom dari Timur, sekedar untuk menunjukkan ketidak-aslian filsafat
Islam. Sama dengan De Boer, Gustave E von Grunebaum berasumsi bahwa dalam Islam
tidak ada pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi, oleh
karena itu semua itu pasti diambil dari Yunani. Pandangan ekstrim ini tentu
berdasarkan pengetahuan yang parsial tentang Islam.
Asumsi bahwa dalam Islam tidak ada sesuatu yang
rasional juga datang dari M.W.Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook. Mereka
bahkan menuduh ilmu Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu,
memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan
diambil dari filsafat dan sains Yunani atau dari teks Syriac. Tapi, para
orientalis itu hanya berasumsi dan mengakui bahwa itu semua masih harus
dibuktikan. Padahal ilmu sanad dan klassifikasi hadith, misalnya, tidak pernah
terbukti berasal dari Yunani.
Dalam buku A History of Philosophical System,
Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam
artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban
Barat Baru (New West). Meskipun demikian ia dengan tegas menyatakan bahwa itu
semua tidak berasal dari jazirah Arab, tapi dari Yunani. Sebab sebelum
orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran, mereka
berwawasan sempit (narrow horizon). Orang Muslim, pada abad ke 7 M, katanya,
mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam
disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi
mengungguli mereka.
Pernyataan Edward sebenarnya bertentangan dengan
temuan Peter yang menemukan fakta bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan
terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan
mereka. Bagi Muslim ini tidak masalah. Ini berarti mereka tidak mampu menyerap
logika Yunani yang canggih (baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme
untuk menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme)
dalam pandangan hidup mereka. Jadi kalau fakta yang dikemukakan Peter ini
dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview) Islam, asumsi Edward
tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu bisa menjadi terbalik yaitu
bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu muncul hanya setelah mereka bersentuhan
dengan peradaban Muslim yang berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih.
Akibat dari cara pandang ini nampak dalam
framework kajian mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku
sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh
yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama
kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Logikanya, sebelum al-Kindi tidak ada
filsafat Islam. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-Ghazzali,
Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.
Mungkin agak sedikit obyektif, dan bisa mewakili
pandangan ketiga adalah Michael Marmura (dalam Encyclopedia of Religion) dan
Oliver Leaman. Menurut Marmura para filosof Muslim itu tidak hanya menerima
ide-ide Yunani yang mereka terjemahkan, mereka menyeleksi, mengolah dan merubah
konsep-konsepnya untuk membentuk filsafat mereka sendiri. Pengakuan Marmura
sangat tepat, sebab tidak semua konsep Yunani diterima oleh Muslim. Ada proses
seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Faktanya memang
penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in
Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah
proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan
filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan,
adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya. Pendapat Marmura ini
dikuatkan oleh Sabra, yaitu bahwa istilah Yunani “philosophia” yang di Arabkan
menjadi falsafah justru menunjukkan tanda keberhasilan naturalisasi filsafat
Yunani kedalam millieu Islam.
Bahkan menurut C.A.Qadir, penulis buku Philosophy
and Science in The Islamic World, sumber aspirasi asli dan riel para pemikir
Muslim adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanyalah pembuka jalan.
Muslim berhutang pada Yunani dan pada saat yang sama menyimpang dari Yunani.
Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki
konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam pemikiran Yunani.
Oleh sebab itu MM Sharif dalam A History of
Muslim Philosophy mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain
sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas,
kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”. Bagi Iqbal semangat
Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani. Seyyed Hossein Nasr
secara metaforis menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat
asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya. Meskipun begitu
Nasr menyadari bahwa dalam filsafat terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja
ketika unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu diintegrasikan
kedalam peradaban Islam, ia menjadi Islami.
Jika para orientalis diatas begitu ekstrim
mengklaim filsafat Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Oliver Leaman dalam
bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy mengakui bahwa Usul
Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Ini
nampaknya dikaitkan dengan tradisi qiyas dalam fiqih yang sangat rasional dan
hampir mirip dengan syllogisme Aristotle. Bukan hanya itu kenyataannya dalam
al-Qur’an memang telah terdapat elemen metafisika, seperti konsep Tuhan, alam
ghaib, hari akhir, prinsip akhlaq, ilmu, iman dsb. Dari elemen ini saja sudah
dapat disimpulkan bahwa filsafat telah ada sebelum bersentuhan dengan Yunani.
Realitas ini digambarkan oleh Oliver Leaman dengan cerdas sekali bahwa filsafat
Islam muncul dalam teologi Islam dan tanpa kaitan langsung dengan filsafat
Yunani (philosophy arose in Islamic theology and was without any direct contact
with Greek philosophy).
Lebih dari itu, dalam Islam sendiri terdapat
istilah hikmah. Hikmah sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan
masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang
berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan, menurut SH.Nasr, banyak orang
yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam
ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah
tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam
al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Qadir dengan ringan menyatakan bahwa yang
sebenarnya terjadi adalah bahwa Íikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya
untuk berkembang.
Jadi, jika Muslim masih memahami arti filsafat
Islam sebagai pengetahuan asing dan haram, maka ia tidak dapat menciptakan
disiplin ilmu baru dalam Islam. Dan jika Muslim masih menganggap filsafat Islam
adalah murni berasal dari Yunani maka berfikirnya set back ke abad ke 10.
Padahal pada abad ke 13 saja istilah “falsafah” sudah dapat diterima jika
unsur-unsurnya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan. Ibn Taymiyyah,
(MinhÉj al-Sunnah, I. ed.Rasyad Salim, hal 261) juga tidak keberatan dengan
istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-sahihah, yaitu
pengetahuan tentang Wujud.
0 komentar:
Post a Comment