Oleh: Dr. Adian Husaini
(Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
”Sesungguhnya
agama yang diakui Allah adalah al-Islam. Dan tidaklah kaum yang diberi al-Kitab
itu berselisih paham, kecuali setelah datangnya bukti yang meyakinkan karena
kedengkian di antara mereka.” (QS Ali Imran: 19).
AL-Quran
juga menyebutkan bahwa kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memang tidak sama.
Ada yang kemudian beriman kepada kenabian Muhammad saw. Jumlahnya sedikit (QS
2:88). Tetapi sebagian besar fasik. (QS 3:110). Di zaman Rasulullah saw, ada
dua tokoh Yahudi yang terkemuka yang akhirnya memeluk Islam, beriman kepada
risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Keduanya, yakni Hushein bin Salam dan
Mukhairiq, menjadi bahan cemoohan kaumnya sendiri. Jika sebelumnya mereka
sangat dihormati, setelah masuk Islam, mereka dikucilkan.
Moenawar
Khalil, dalam bukunya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw (Jakarta: GIP,
2001), menceritakan, Hushein bin Salam kemudian diganti namanya oleh Rasulullah
saw menjadi Abdullah bin Salam. Dia pernah membuktikan bagaimana sikap kaumnya
terhadap dirinya. Suatu ketika, kaum Yahudi datang kepada Rasulullah, saat
Abdullah bin Salam sedang di sana. Dia berpesan kepada Rasulullah agar
menanyakan kepada kaumnya, bagaimana pandangan mereka terhadap dirinya. Saat
kaum Yahudi datang, Rasulullah saw bertanya pada mereka, bagaimana pandangan
mereka terhadap Husein. Yahudi menjawab: ”Ia adalah sebaik-baik orang kami dan
sebaik-baik anak lelaki orang kami. Ia adalah semulia-mulia orang kami dan anak
lelaki dari seorang yang paling alim dalam golongan kami, karena dewasa ini di
kota Madinah tidak ada seorangpun yang melebihi kealimannya tentang kitab Allah
(Taurat).”
Kaum
Yahudi itu memuji-muji Abdullah. Kemudian Abdullah muncul dan mengajak kaum
Yahudi untuk beriman pada kenabian Muhammad saw. Abdullah mengatakan kepada
kaumnya, bahwa mereka sebenarnya telah memahami Muhammad adalah utusan Allah,
sebab sifat-sifatnya telah disebutkan dalam Kitab mereka.
Mendengar
ucapan Abdullah bin Salam, kaum Yahudi berbalik mencaci maki, dan menuduhnya
sebagai pendusta. Sebab, dia sudah tidak lagi memeluk agama Yahudi. Ketika itu,
turunlah wahyu kepada Rasulullah saw: ”Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku,
bagaimanakah pendapatmu jika Al Qur'an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu
mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang
serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur'an lalu dia beriman, sedang kamu
menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim".(QS Al-Ahqaf ayat 10)
Setelah
kabar keislaman Abdullah bin Salam tersiar di kalangan kaum Yahudi, maka mereka
dengan congkak dan sombong mengata-mengatai, mencaci-maki, menghina,
menjelek-jelekkan dan memusuhinya dengan sekeras-kerasnya. Abdullah bin Salam
tidak mempedulikan caci maki keluarga dan kaumnya. Dia terus bertahan dalam
Islam dan termasuk sahabat Nabi dari kaum Anshar. Ia meninggal tahun 43 H di
Madinah, di masa Khalifah Mu’awiyah.
”Mereka
itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus,
mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka
juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan
mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera
kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang
saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka
tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang
yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 113-115)
Abdullah
bin Salam termasuk diantara kaum Yahudi yang menyimpang dari tradisi kaumnya
yang menolak kenabian Muhammad saw. Ia berani menentang tradisi kesombongan
kaumnya sendiri. Di antara kaum Yahudi, ada juga yang berani mengkritik ajaran
agamanya dan praktik-praktik kebiadaban kaumnya sendiri, meskipun mereka tidak
sampai memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Dr. Israel Shahak. Guru besar
biokimia di Hebrew University ini memang bukan Yahudi biasa. Dia tidak seperti
sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang mendukung atau hanya bengong saja
menyaksikan kejahatan kaumnya. Suatu ketika, saat dia berada di Jerusalem,
pakar biokimia dari Hebrew University ini menjumpai kasus yang mengubah pikiran
dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu (Sabath) Shahak berusaha meminjam
telepon seorang Yahudi untuk memanggil ambulan, demi menolong seorang
non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.
Di luar
dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun
akhirnya tidak tertolong lagi. Prof. Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan
Rabbi Yahudi – semacam majlis ulama Yahudi – di Jerusalem. Dia menanyakan,
apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau menyelamatkan
orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi. Lagi-lagi, Prof.
Shahak terperangah. Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of
Jerusalem) menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke
ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai ”tindakan yang mulia”. Prof. Shahak
menulis: ”The answered that the Jew in question had behaved correctly indeed
piously.”
Kasus
itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih jauh
tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah buku
berjudul Jewish History, Jewish Religion (London: Pluto Press, 1994). Dalam
penelitiannya, ia mendapati betapa rasialisnya agama Yahudi dan juga negara
Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara Israel
memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, “In my view, Israel as
a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but
to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond.”
Sebagai
satu ”negara Yahudi” (a Jewish state), negara Israel adalah milik eksklusif
bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai ”Jewish”, tidak peduli dimana pun
ia berada. Shahak menulis: “Israel ’belongs’ to persons who are defined bu the
Israeli authorities as ‘Jewish’, irrespective of where they live, and to them
alone.”
Dr. Israel
Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya orang-orang yang bersikap
anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap Yahudi yang sangat
diskriminatif terhadap bangsa lain justru sering diabaikan. (***)
0 komentar:
Post a Comment