Oleh: Selamat Ginting,
(Jurnalis Senior Republika)
Berhari-hari saya
mencoba menulis laporan tentang kasus Poso. Tetapi saya tidak berhasil menyusun
kalimat demi kalimat. Saya gagal, walaupun sudah berusaha menenangkan diri
dengan menyanyi diiringi band. Lagu demi lagu. Namun, lagi-lagi saat di depan
monitor laptop, saya belum bisa menulis.
Terus
terang saya terbawa suasana pada 1998 hingga 2001. Poso bagi saya adalah neraka
liputan. Pada masa itu lebih dari 600 rumah terbakar, sekitar 60 ribu warga
mengungsi. Jangan tanya jumlah warga yang tewas, saya pegang data jumlah korban
tewas. Mengerikan!
Warga Islam ketakutan
karena menganggap laskar Kristen akan menghabisinya. Warga Kristen pun juga
ketakutan karena menganggap laskar Islam akan menghabisinya. Kedua warga Islam
dan Kristen pun mengungsi. Demikian pula warga Hindu yang merasa berada di
tengah peperangan bernuansa SARA.
Konflik ini berawal
dari masalah sepele, saat bulan puasa Ramadhan, seorang warga keturunan yang
sedang mabuk membacok seorang warga yang berbeda agama di masjid. Polisi telat
mengantisipasi masalah tersebut, kerusuhan pun berbuntut panjang.
Apalagi menjelang
berlangsungnya pilkada Poso, terjadi saling provokasi dengan membuat selebaran
yang menghasut. Kedua provokator dan pemimpin penyerangan akhirnya memang mati
terbunuh.
Konflik Meluas, Munculnya Santoso dan Tibo
Selanjutnya,
terjadi saling lempar ke perkampungan berbeda agama. Saling serang dan bakar
rumah penduduk dan rumah ibadah. Bahkan saling bunuh!
Mengerikan
melihat mayat dari kedua belah pihak tergeletak di jalan-jalan dan mengapung di
sungai-sungai. Ribuan massa dari keduanya saling baku bunuh.
Siapa
yang menyulut terlebih dahulu? Tidak jelas. Yang jelas, kedua masyarakat
berbeda agama itu tersulut emosi.
Pemerintah
telat mengantisipasinya. Seharusnya pemerintah sudah menetapkan keadaan sebagai
darurat sipil! Namun hal itu tidak dilakukan. Aparat kepolisian tak lagi
berwibawa menghadapi dua laskar yang sudah mendidih darahnya. Sejumlah polisi
pun tewas. Bagi saya saat itu, di Poso seharusnya sudah diberlakukan darurat
militer untuk menjaga kewibawaan pemerintah. Namun, negara seperti tidak hadir
di situ.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pun menganggap Pemerintah Indonesia gagal melindungi
warga yang berbeda agama dan keyakinan itu. Sampai kemudian muncul tokoh
seperti Santoso yang dianggap pahlawan bagi umat Islam Poso serta Tibo yang
dianggap pahlawan bagi umat Kristen Poso.
Gila!
Itulah kata yang bisa saya ungkapkan mengenai figur-figur tersebut dan gagalnya
pemerintah menyelesaikan kasus Poso. Perjanjian Malino hanya di atas kertas
karena kewibawaan pemerintah sudah tidak ada.
Saya
tidak ingin dan tidak bermimpi ada kasus seperti itu lagi di bumi nusantara.
Sesama anak bangsa bertikai dan saling bunuh atas nama Tuhan-Nya adalah
tindakan keji dan biadab.
Damailah Indonesiaku!
0 komentar:
Post a Comment