"Sungguh seandainya kalian
bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan
diberi rezeki sebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka berangkat pagi hari
dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang" (HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu
Hibban, dan Al-Mubarak dari Umar bin Khathab).
Dalam hadis yang mulia ini,
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang-orang yang bertawakal kepada Allah
dengan sebenar-benar tawakal, niscaya akan dicukupkan rezekinya oleh Allah
sebagaimana Dia mencukupi rezeki burung-burung. Betapa tidak, Allah adalah Zat
Yang Mahahidup, dan Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakal
kepada-Nya, niscaya Allah SWT akan mencukupi segala kebutuhannya.
Dalam QS. Ath-Thalaq ayat 3,
Allah SWT berfirman, Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.
Tawakal terambil dari kata
wakala-yakilu yang berarti mewakilkan, dan dari kata ini terbentuk kata wakil.
Kata wakil bisa diartikan dengan "pelindung". Dalam beberapa ayat
ditegaskan bahwa, Dan Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakil (QS.
Al-An'am: 102). Dan cukuplah Allah sebagai wakil (QS. An-Nisa: 81). Dari sini
kita dapat menyimpulkan bahwa menjadikan Allah sebagai wakil, berarti
menyerahkan kepada-Nya segala persoalan (Shihab: 2000: 124).
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya
Ihya' Ulumuddin mendefinisikan tawakal sebagai "penyandaran hati hanya
kepada wakil (yang ditawakali) semata. Sedangkan menurut Allamah Al-Manawi
tawakal adalah "menampakkan kelemahan serata penyandaran (diri) kepada
yang ditawakali".
Apakah tawakal identik dengan
sikap pasif dan apatis? Dalam Alqran perintah bertawakal terulang sebanyak
sebelas kali; sembilan berbentuk tunggal dan dua berbentuk jamak. Kesemuanya
selalu awali perintah melakukan sesuatu. Sebagai contoh, Dan jika mereka
condong kepada perdamaian, maka condonglah kamu kepadanya dan bertawakallah
kepada Allah (QS. Al-Anfal: 61).
Dari sana jelaslah bahwa tawakal
tidak identik dengan sikap pasif. Karena itu, tidak disebut tawakal orang yang
pasrah kepada Allah tanpa mau berusaha. Tidak disebut tawakal pula orang yang
menginginkan sesuatu tapi tidak mau mengerahkan potensi yang dimilikinya untuk
meraih apa yang diinginkannya tersebut. Tawakal adalah urusan hati. Ia hadir
setelah badan dan pikiran dioptimalkan terlebih dahulu.
Rasulullah SAW menyerupakan orang
yang bertawakal dan diberi rezeki itu dengan burung yang pergi dipagi hari
untuk mencari rezeki dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. Kita tahu
bahwa burung tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, dan
lainnya. Ia keluar dari sarang dengan bekal tawakal kepada Allah SWT yang
kepada-Nya ia bergantung.
Tentang hal ini, Imam Ahmad
memberikan komentar: "Tidak ada isyarat yang membolehkan kita untuk
meninggalkan usaha. Sebaliknya, di dalam hadis ini terdapat isyarat tentang perlunya
kita bergerak mencari rezeki. Jadi maksud hadis di atas, bahwa seandainya
manusia bertawakal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka,
dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu ditangan-Nya, tentu mereka tidak
akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana
burung-burung tersebut" (Fadhl Ilahi, 2000: 37-38).
Imam Ahmad pun pernah ditanya
tentang "status" seseorang yang kerjanya hanya beribadah dan duduk di
rumah atau mesjid sambil berkata, "Aku tidak mau bekerja, sampai rezekiku
datang sendiri". Ia mengatakan, "Orang tersebut adalah orang malas
dan tak mengenal ilmu". REPUBLIKA.CO.ID
0 komentar:
Post a Comment