Oleh:
Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
(Peneliti INSISTS)
Pada 19
Februari 2009, sebuah pusat studi lintas agama di Yogyakarta menggelar satu
acara bedah buku berjudul When Mystic Masters Meet: Paradigma Baru dalam Relasi
Umat Kristiani-Muslim. Penulisnya, seorang dosen perbandingan agama. Buku itu
merupakan disertasi doktornya di Chicago University. Bedah buku sejenis digelar
di sejumlah kota.
Penulis
buku ini mencoba mencari titik temu antara Islam dan Kristen, melalui kajian
terhadap dua pemikir besar dalam Islam dan Katolik, yaitu Ibn Arabi dan Meister
Eckhart. Penulis menggunakan konsep filsafat perenial dan Kesatuan Transendensi
Agama-agama (Trancendent Unity of Religion) sebagai framework kajiannya.
Ditulis
dalam bukunya: Kebanyakan pemahaman Muslim kontemporer mengenai keanekaragaman
agama berdasar pada ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tradisi agama-agama
selain Islam. Berbeda dengan kebanyakan Muslim lain yang percaya bahwa
ayat-ayat eksklusif tertentu dalam Al-Quran menghapus (naskh) ayat-ayat
inklusif tertentu di dalamnya sehingga mempunyai kesimpulan yang menegaskan
bahwa Islam menghapus agama-agama yang ada sebelumnya Ibn Arabi tidak mempunyai
kesimpulan yang demikian.
Dalam buku
ini, yang dijadikan sebagai sasaran adalah sosok Ibn Arabi (w. 638 H/1240 M),
yang memang sejumlah pemikirannya memicu kontroversi di kalangan para ulama.
Penulis buku ini menjadikan sejumlah karya William C. Chittick, seperti
Imaginal World: Ibn al-Arabi and the Problem of Religious Diversity, sebagai
kacamata dalam melihat konsep agama-agama Ibn Arabi. Padahal, kaca mata
Chittick itulah yang bermasalah. Chittick sudah berasumsi, Ibn Arabi adalah
sosok yang mengakui validitas semua agama.
Peneliti
INSISTS, Dr. Syamsuddin Arif, dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran (2008), sudah memberikan koreksi terhadap Chittick dalam menjelaskan
konsep agama Ibn Arabi. Tanpa menafikan sisi kontroversial Ibn Arabi sendiri,
tokoh sufi ini pun tetap menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang
sah di dalam pandangan Allah SWT. Setelah Nabi Muhammad saw diutus, maka
pengikut agama-agama para Nabi sebelumnya, wajib beriman kepada Nabi Muhammad
saw dan mengikuti syariatnya. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, maka
syariat agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syariata Muhammadin shallallahu
alayhi wa sallama nasikhah, tulis Ibn Arabi.
Metode
studi agama-agama model Barat yang menggunakan pendekatan netral agama alias
tidak berpijak pada salah satu perspektif agama tertentu sekarang banyak
diminati oleh kalangan akademisi Muslim di Perguruan Tinggi. Seorang rektor
Perguruan Tinggi Islam di Jakarta memberikan pujian untuk buku semacam ini:
Buku ini hadir tepat waktu dan penulis dengan sangat brilian menghadirkan dua
ikon pemikir mistik Barat dan Timur, Kristen dan Muslim, saat agama
diseret-seret dalam konflik perebutan hegemoni politik dan ekonomi sehingga
wajah agama menjadi bengis.
*****
Objektif:
Mustahil
Pakar
Perbandingan Agama (Comparative Religions) dari INSISTS, Dr. Anis Malik Thoha,
pernah menulis sebuah artikel berjudul Objectivity and the Scientific Study of
Religion. Berbeda dengan para cendekiawan Muslim yang selama ratusan tahun
mempertahankan metode objektif dan subjektif sekaligus dalam studi agama-agama
atau Perbandingan Agama, pakar perbandingan agama dari Barat mulai mengajukan
perlunya menggunakan metode objektif dalam studi ini.
Dua
pendekatan utama digunakan dalam metode ini, yaitu pendekatan sejarah agama
(History of Religion) dan fenomenologi agama (Phenomenology of Religion). Kedua
pendekatan ini diklaim sekedar bersifat deskriptif (tidak menghakimi) dan bebas
nilai (value-free). Dalam makalahnya, Anis menunjukkan, bahwa pendekatan
objektif itu dipertanyakan secara ontologis dan secara epistemologis adalah
mustahil. It is a self-defeating concept and a myth, tulis Anis, yang kini
memimpin Departement of Publication di International Islamic University
Malaysia.
Religionswissenschaft
(Science of Religion or Comparative Study of Religion) adalah bidang studi baru
yang konon baru berusia satu abad. Biasanya, kelahiran studi ini dikaitkan
dengan Friedrich Max Müller (1823-1900), terutama berkenaan dengan dua
penerbitannya, yaitu Chips from German Workshop (1867) dan Introduction to the
Study of Religion (1873). Metode ilmiah dalam studi agama-agama, menurut
Müller, harus serupa dengan metode yang diterapkan dalam area studi Comparative
Philology.
Friedrich
Max Müller memang dikenal dengan penekanannya pada metode objektif dan
saintifik dalam studi agama-agama. Juga, ia dikenal dengan pernyataannya yang
provokatif, bahwa He who knows one knows none.” (Siapa yang hanya tahu satu
(agama), maka ia tidak tahu apa-apa). Oleh banyak sarjana di bidang ini, Max
Müller dianugerahi gelar sebagai Bapak Studi Perbandingan Agama (The father of
Comparative Study of Religion).
Dengan
penggunaan kriteria objektif semacam itu, maka para sarjana di bidang ini
menolak karya-karya dalam Perbandingan Agama yang telah dihasilkan oleh para
sarjana Muslim, ratusan tahun sebelumnya, jauh sebelum sarjana-sarjana Barat
mengenal bidang studi ini. Kitab-kitab dalam studi agama-agama yang dihasilkan
para ilmuwan Muslim dianggap tidak ilmiah atau setidaknya keilmiahannya
diperdebatkan, karena tidak mengikuti metode objektif-ilmiah yang digunakan
para ilmuwan Barat.
Para
ilmuwan Barat pun cukup beragam dalam memandang studi ini. Seymour Cain,
misalnya, membuang seluruh kontribusi ilmuwan Muslim dalam studi ini. Dalam
studinya, ia melacak studi agama sejak era Yunani Kuno sampai Barat modern, dan
sampai pada kesimpulan munculnya pelopor dalam studi ini yaitu Friedrich Max
Müller. Salah satu sarjana terkenal dalam bidang ini adalah Jacques
Waardenburg, seorang profesor dalam Comparative Study of Religion di Utrecht
University. Ia juga sangat peduli dengan isu objektivitas-subketivitas dalam
studi agama-agama. Ia menulis buku Classical Approaches to the Study of
Religion (2 jilid), dan Reflections on the Study of Religion.
Menurut
Dr. Anis, perhatian utama Waardenburg adalah mengkritisi karya-karya para
ilmuwan Muslim baik klasik maupun kontemporer dalam perspektif dan metode
Barat. Menurut Waardenburg, para sarjana Muslim klasik telah gagal untuk
memahami dan menampilkan agama-agama lain secara objektif. Menurutnya, para
ilmuwan Muslim klasik telah memahami secara subjektif agama-agama di luar
Islam. Mereka memahami agama-agama lain dalam orbit kultur dan agama mereka
(Islam). Juga, katanya, masalah utama yang menghambat tumbuhnya studi
agama-agama secara objektif dan ilmiah adalah karena keyakinan kaum Muslim
bahwa Islam adalah agama yang final dan benar (Islam is the final and true
religion).
Konsepsi
Barat tentang objektivitas dalam studi agama-agama digambarkan dengan baik oleh
Prof. Wilfred Cantwell Smith, yang terkenal dengan ucapannya: No statement
about a religion is valid unless it can be acknowledged by that religions
believers. Merujuk pada studi pribadinya, Smith mempunyai opini, bahwa:
Anything that I say about Islam as a living faith is valid only as far as
Muslims can say amen to it.
Ungkapan
Smith itu, meskipun bernada simpatik, tetapi sangat bermasalah dalam pandangan
Islam. Sebab, menurut al-Quran, misalnya, Nabi Isa a.s. tidak mati di tiang
salib. Al-Quran juga sangat kritis terhadap kepercayaan, sikap dan perilaku
kaum Yahudi. Apakah semua pernyataan al-Quran itu tidak dapat dibenarkan,
kecuali jika diterima kaum Kristen dan Yahudi? Tentu, menurut keyakinan kaum
Muslim, kebenaran al-Quran tidak ditentukan oleh persetujuan umat agama lain.
Dalam artikelnya, Dr. Anis Malik Thoha menyimpulkan, bahwa objektif dalam Islam
adalah bersikap adil terhadap objek yang diteliti. Para ilmuwan Muslim dalam
hal ini telah bersikap adil. “Bersikap adillah, karena adil itu lebih dekat
dengan taqwa” (QS 5:8).
Netral Agama: Tidak Beragama
Paparan
Dr. Anis Malik Thoha ini sangat penting, sebab arus besar studi agama-agama
yang netral agama dengan dalih metode objektif-ilmiah sedang menyerbu Perguruan
Tinggi Islam di Indonesia. Seorang sarjana supaya dikatakan ilmiah kemudian
enggan lagi menyatakan, bahwa agamanya adalah yang benar. Jika dia melihat
agama-agama lain dari sudut pandang agamanya, maka dia dikatakan tidak
objektif, atau tidak ilmiah dan kepakarannya tidak diakui. Yang objektif-ilmiah
adalah yang memandang agama-agama pada posisi netral, alias tidak beragama.
Ilmuwan
studi agama akan dikatakan sebagai ilmuwan hebat, menurut metode ini, jika dia
tidak bersikap terhadap kebenaran agama-agama, alias memandang semua agama
benar, menurut agamanya masing-masing. Jika ditanya pada dia, agama mana yang
benar, dia akan menjawab, Semua agama benar menurut pemeluknya masing-masing.
Atau dia menjawab, Semua agama benar, karena sama-sama merupakan jalan yang sah
menuju Tuhan yang sama. Minimal, saat mengajar di kampus, dia dituntut bersikap
ilmiah, alias netral agama.
Tentu
saja, metode semacam ini sangat absurd. Sebab, seorang ilmuwan muslim yang
baik, dia akan memegang teguh keyakinan tentang kebenaran Islam, dimana pun dia
berada, dan dalam posisi apa pun. Ketika di kampus dia tetap yakin dengan
kebenaran Islam. Ketika berkhutbah pun, dia yakin dengan kebenaran Islam.
Posisi netral agama, sejatinya adalah posisi orang yang tidak beragana. Para
ilmuwan Muslim klasik yang mendalami studi agama-agama, sama sekali tidak
berkurang ketinggian derajat keilmuannya, karena memegang teguh keyakinan
agamanya. Mereka tetap bersikap objektif (adil) dalam meneliti objek yang
ditelitinya. Tetapi, pada saat yang sama, mereka tidak ragu-ragu dengan
kebenaran Islam, bahwa Islam adalah satu-satunya ad-Din yang benar. Sejumlah
penelitian para ulama klasik menunjukkan, bagaimana ketinggian dan kualitas
keilmuan para ulama Islam dalam area studi agama-agama. (***)
0 komentar:
Post a Comment