Rencana kebijakan penetapan harga
rokok sebesar 50K sedang ramai sekarang ini dalam perspektif ekonomi Islam bisa
disebut sebagai tas’îr atau bahkan juga bisa disebut sebagai mencegah dharar.
Tas’îr Dalam bahasa arab, tas’îr
berasal dari kata sa’ara. Ibnu ‘Ibâd dalam al-Muhîth fi al-lughah, menyatakan
bahwa ungkapan sa’aro ahlu sûq (para pedagang dipasar menetapkan harga) artinya
as’arû (mereka menetapkan harga). Sementara itu as-si’r artinya harga. Dengan demikian,
secara bahasa at-tas’îr artinya penetapan harga (taqdîr as-si’r).
Sementara itu, di dalam istilah
para fuqaha, at-tas’îr adalah penetapan harga oleh penguasa agar para pedagang
di pasar tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga yang telah
ditetapkan oleh penguasa (Zakariya al-Anshariy, Asnal Mathâlib, VIII/50). Lebih
luas dari itu, Asy-Syaukani mendefiniskan at-atas’ir sebagai “penetapan harga
oleh penguasa atau wakilanya, atau siapa saja yang memiliki kekuasan dalam
mengatur urusan kaum muslimin, bagi para pedagang di pasar, agar mereka tidak
menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga tertentu, tidak melebihi
batas itu atau menguranginya, demi maslahat” (Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr,
VIII/370). Dengan kata lain, penetapan harga maksimal atau minimal juga
merupakan bentuk tas’îr.
Penetapan harga oleh penguasa hukumnya haram menurut pandangan Jumhur
fuqaha (Jumhur ulama Malikiyah, ar-Rajih/al-Mu’tamad dalam madzhab Syafi’iy,
pandangan yang masyhur dikalangan ulama Hanabilah serta riwayat dari kalangan
sahabat dan tabi’in). Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Anas RA:
“Suatu saat di masa Rasulullah SAW harga merangkak naik. Lalu
orang-orang mengatakan, ‘wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami’.
Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang
menyempitkan dan melapangkan rizki, dan sungguh aku berharap untuk bertemu
Allah dalam kondisi tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan
suatu kezaliman, baik dalam darah atau harta’.” (THR. At-Tirmidzi dan Abu
Daud).
Juga didasarkan pada hadis Abu
Hurairah RA:
“Seorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Ya Rasulullah,
patoklah harga’. Beliau menjawab, ‘Berdo’alah’. Kemudian datang yang lain dan
berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga’. Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allah
lah yang menurunkan dan menaikan harga’.” (THR. Abu Dawud)
Kedua hadis tersebut dengan jelas
menunjukan bahwa tas’îr hukumnya haram dan merupakan kezaliman. Bila itu
dilakukan, maka pemerintah berdosa, karena telah melakukan keharaman. Oleh
sebab itu, seluruh warga negara berhak mengadu kepada mahkamah mazhalim untuk
mengadukan kebijakan itu agar dibatalkan.
Namun kebijakan tersebut bisa
juga disebut sebagai mencegah Dharar karena ada dalih dari pemerintah kenaikan
harga tersebut adalah untuk mengurangi jumlah perokok.
Mencegah Dharar (Bahaya)
Dalam Al-Arba’ûn an-Nawawiyah,
Hadis ke-32 disebutkan
Tidak boleh ada madarat/bahaya dan tidak boleh ada yang membahayakan (HR
Ibn Majah, Ahmad, ad-Daraquthni)
Az-Zayla’i mengatakan di dalam
Nasb ar-Râyah, hadis ini diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit, Ibn Abbas,
Abu Said al-Khudzri, Abu Hurairah, Abu Lubabah, Tsa’labah bin Malik, Jabir bin
Abdullah dan Aisyah ra. Abu Said al-Khudzri ra. juga menuturkan bahwa Nabi saw.
pernah bersabda
Tidak boleh ada madarat (bahaya) dan tidak boleh ada yang menimpakan
bahaya. Siapa saja yang menimpakan kemadaratan niscaya Allah menimpakan
kemadaratan atas dirinya dan siapa saja yang menyusahkan niscaya Allah akan
menyusahkan dirinya (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni).
Kata lâ dalam hadis ini adalah lâ
nâfiyah li al-jinsi (kata lâ yang menafikan jenis) dan diikuti oleh kata
dharara dan dhirâra dalam bentuk nakirah sehingga itu bermakna umum. Al-Minawi
di dalam Faydh al-Qadîr mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat pengharaman semua
jenis dharar kecuali dengan dalil, sebab nakirah dalam konteks nafi adalah
bersifat umum.
”Asy-Syaukani di dalam Nayl
al-Awthâr setelah memaparkan hadis tersebut mengata-kan, “Hadis ini mengandung
dalil pengharaman adh-dharar apapun sifatnya, tanpa ada perbedaan apakah
terhadap tetangga atau yang lain. Dengan demikian, adh-dharar dalam bentuk
apapun itu tidak boleh kecuali dengan dalil yang mengkhususkan keumuman ini.”
Penafian dharar dan dhirâr oleh
syariah itu menunjukkan bahwa dharar itu adalah haram dan harus dihilangkan.
Menghilangkan dharar mengharuskan penghilangan zat atau sebab dharar itu
sendiri. Dari sinilah para ulama menetapkan kaidah fikih: Al-Ashlu fi al-Mudhâr
at-Tahrîm (Hukum asal madarat adalah haram) atau kaidah fikih: Inna adh-Dharara
yuzâl (Dharar itu harus dihilangkan). Penerapan kaidah ini bisa luas sekali.
Contoh: Jika seseorang punya pohon yang dahannya sampai ke rumah tetangganya
dan membahayakan dia maka pemilik pohon harus meninggikan dahan itu atau
memotongnya. Begitu juga bangunan atau pohon milik seseorang; tidak boleh
menjulur ke jalan yang bisa membahayakan orang yang lewat juga tidak boleh
merokok sembarangan karena menzalimi dan membahayai orang sekitar.
Contoh lainnya dalam penerapan
ini adalah individu atau swasta tidak boleh memiliki pabrik senjata berat,
senjata kimia dan sejenisnya sebab di dalam pemilikan semua itu oleh swasta ada
dharar. Dilarang membangun pabrik kimia atau lainnya di daerah pemukiman supaya
tidak membahayakan penduduk dengan asap, gas, suara bising atau lainnya. Begitu
juga peternakan ayam tidak boleh dibangun di daerah dekat pemukiman supaya
penduduk tidak terganggu dengan bau kotoran ayam itu. Berikutnya, pabrik atau
siapapun dilarang membuang limbah dan bahan berbahaya yang bisa membahayakan
lingkungan dan kesehatan penduduk. Produsen makanan tidak boleh menggunakan
bahan-bahan yang bisa membahayakan kesehatan. Jika terbukti dan produknya sudah
diedarkan maka perodusen tersebut diharuskan menarik produk tersebut dari peredaran
dan memusnahkannya. Demikian seterusnya.
Rencana Pemerintah Tidak Tepat
Hemat saya masalah rokok ini
adalah masalah dharar karena membahayakan kesehatan penduduk, maka solusi yang
tepat adalah menutup pabrik-pabrik rokok bukan menaikkan harganya. Karena
pabrik-pabrik rokok memproduksi barang yang membahayakan penduduk sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya. Maka alasan pemerintah menaikkan harga rokok
sampai 50K untuk mengurangi perokok adalah alasan yang mengada-ada. Menaikan
harga rokok hanyalah trik pemerintah untuk menarik pajak cukai tembakau/rokok
untuk jadi pemasukan negara. Lalu kalau pabrik rokok ditutup bagaimana para
pekerja dan pengusahanya?
mekanisme politik ekonomi islam
akan menyelesaikan itu semua. Insya Allah akan saya jelaskan di tulisan lain.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb
Oleh : Rifan Abdul Azis – Aktivis
BKLDK Bandung, Mahasiswa Prodi Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam, Fakultas
Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pendidikan Indonesia & Santri
I’dad Lughawi Ma’had Syaraful Haramain.
0 komentar:
Post a Comment