Oleh: Harri Ash Shiddiqie
(Penulis Tinggal di Jember)
Siapa yang kelak memimpin
Jakarta? Siapa pula yang kelak memimpin Amerika? Dua topik ini selalu menghias
pemberitaan di negeri ini. Apakah yang terpilih nanti bisa benar-benar menjadi
pemimpin, sekedar pimpinan, atau hanya pemimpi yang rakus menikmati segala
kuasa? Semuanya akan bisa jelas terlihat setelah melewati perjalanan waktu.
Menakar calon pemimpin, tentunya
tak bisa lepas dari sejarah. Berderet nama pemimpin yang harum, Iskandar
Zulkarnain, raja yang tak pernah kalah, di umur 33 tahun wilayahnya membentang
sejak Yunani sampai garis sebelah barat India. Shalahuddin al-Ayyubi, Nelson
Mandela dan Gandhi. Tetapi jangan lupa, ada pemimpin yang menodai bumi,
Caligula, Hitler, Stalin dengan Gulagnya.
Itu dari sejarah. Ada yang
mendengungkan pembelajaran pemimpin bukan dari kisah nyata, tetapi dari
karya-karya sastra, fiksi. Itu dilakukan di Harvard oleh Joseph L. Badaracco,
seorang profesor Etika Bisnis pada program MBA.
Dari fiksi, apa yang diperoleh?
Memang bukan kelas pembelajaran kritik atau interpretasi sastra. Fiksi
dipelajari sebagai studi kasus, yang memungkinkan mahasiswa memiliki akses ke
kehidupan batin tokoh cerita, tidak sekedar belajar tentang manajemen konflik
tapi juga merasakan konflik kejiwaan tatkala mengambil keputusan.
Juga tidak hanya didasarkan atas
target dan tujuan kerja saja, tapi juga ketegangan saat mempertimbangkan
lingkungan kerja berkaitan dengan nilai-nilai abadi : keadilan, agama, kasih
sayang, serta keberanian.
Pembelajaran kuantitatif dari
matematika dan dasar akuntansi memang menuntun
langkah tepat penilaian pengelolaan keuangan berdasar proyeksi, prediksi
regresi. Namun tak ada tinjauan kepemimpinan dan perilaku organisasi berdasar
pengenalan diri, serta pemahaman mendalam sifat manusia. Karya sastra
memungkinkan itu semua.
***
Sah-sah saja belajar dari fiksi,
meski di sana tidak ada tokoh yang dapat dijadikan panutan pemimpin sejati.
Karena fiksi sesungguhnya dibangun dengan tokoh-tokoh cerita yang memiliki
kekurangan. Tokoh yang sangat sakti dan selalu menang membuat fiksi tidak
memiliki ketegangan, tidak tercapai klimaks, hambar, membosankan.
King Lear adalah karya terbesar
Shakespeare, apa yang diceritakan? Seorang raja, wilayahnya luas, disegani
rakyatnya, tetapi lemah hati kepada penjilat, dan itu dua orang anaknya. Anak
ketiga, si bungsu, tidak mau menjilat dengan berbohong, dia lugu, jujur, tapi
justru dibuang oleh Raja.
Cerita babak berikutnya berkisah
Sang Raja yang di olok-olok lalu ditendang oleh penjilat setelah kerajaan
diberikan kepada mereka. Penyesalan Raja tak berguna, cerita berakhir tragis.
***
Jadi, bagaimana memilih pemimpin? Memilih pemimpin
karena imbalan uang, sangat tidak
terpuji. Tetapi bukankah bentuk imbalan bisa melebar berupa fasilitas, pangkat
sampai konsesi bisnis?
Islam mengingatkan bahwa setiap
perbuatan: Memilih atau dipilih akan dimintai pertanggung jawaban. Memilih yang
buruk, akan dikenai dosa. Dan bila pemimpinnya berbuat dosa, pemilihnya pun
memikul dosa (QS.36:12). ”Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan
kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan....”.
Sebagai muslim, kita yakin, tak
ada seorang pun di dunia nyata maupun fiksi yang patut diteladani, kecuali
Rasulullah. Apa teladan beliau sebagai pemimpin? Terdapat 4 sifat utama
Rasulullah yang realisasinya tak mungkin diuraikan satu persatu.
Sifat itu: Jujur, dapat
dipercaya, penyampai kebenaran, cerdas. Anak-anak sekolah dasar menghafalnya :
Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah.
Adakah hari ini pemimpin ideal
menyamai Rasulullah, pasti tidak ada. Semoga kita selalu menunaikan kewajiban
dengan memilih pemimpin yang mendekat ke arah sana. Amin. REPUBLIKA.CO.ID
0 komentar:
Post a Comment