Oleh: Dr. Hamid F.
Zarkasyi (Direktur INSISTS)
Belalang menjadi burung elang.
Kutu menjadi kura-kura, dan
Ulat berubah menjadi naga.
Itulah syair pujangga Abdullah
Abdul Qadir al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19. Sekilas ia seperti sedang
bicara evolusi Darwin, atau cerita bim salabim ala Herry Porter. Tapi sejatinya
ia sedang bicara tentang perubahan yang aneh. Perubahan tentang bangsanya yang
kehilangan adab.
Metafora ini mudah diterima oleh
bangsa Melayu, tapi tidak bagi orang Jawa. Orang Jawa lebih mudah faham dengan
dagelan Petruk jadi ratu. Ya dagelan, sebab ada perubahan status secara tidak
alami atau tidak syarie. Bukan gambaran diskriminatif, bukan pula rasial, tapi
loncatan status yang abnormal.
Munsyi tentu faham belalang
mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga faham mengapa Tuhan
mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik. Tapi, yang ia gelisahkan
mengapa ini bisa terjadi di dunia manusia. Semua orang berhak mencapai sukses,
tapi mengapa sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Kita menjadi lebih faham
setelah membaca bait berikutnya:
“Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat,
jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin
tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”.
Munsyi seperti sedang memberi
tugas kita untuk menjawab. Dimana letak kesalahannya. Yang dengan cerdas
menjawab adalah SM Naquib al-Attas, ulama yang juga pakar sejarah Melayu. Letak
kesalahannya, katanya, ada pada lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita tidak
menanamkan adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong
amal dan yang bermuatan moral.
Sumbernya ada dua: faktor
eksternal dan internal. Yang pertama, karena besarnya pengaruh pemikiran
sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Barat. Yang kedua, karena lemahnya daya
tahan tubuh umat Islam. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. Ritual
pendidikan memang terus berjalan, tapi maqasid-nya tidak tercapai. Lembaga
pendidikan umat Islam bisa menghasilkan SDM bidang tehnik, ekonomi, kedokteran,
manajemen, tapi tidak menghasilkan peradaban Islam.
Tanda-tanda alpanya adab sekurangnya ada 3: kezaliman, kebodohan
dan kegilaan. Zalim kebalikan adil
artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab kesopanan
orang Jawa disebut tidak empan papan. Jelasnya tidak bisa memahami dan
menerapkan konsep secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep
yang saling bertentangan. Seperti mencampur keimanan dengan kemusyirikan.
Mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan. Tauhid dengan faham dikotomis-dualistis,
dsb.
Bodoh atau dalam bahasa al-Ghazzali hamaqah bukan jahil dan buta
aksara. Bodoh tentang cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan
hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya.Anda harus bisa kaya
dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima dengan sukarela.
Korupsi, menipu, manipulasi, dan sebagainya pun bisa menjadi cara meniti karir.
Anda bisa jual diri asal bisa jadi selebriti. Anda bisa jadi pejabat asal mahir
menjilat dan berkhianat. Itulah mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara
mencapai tujuan yang disebut syariah.
Gila artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup,
salah arah perjuangan. Akarnya tentunya adalah hamaqah atau kebodohan; yang
bodoh akan negeri impian akan bingung kemana akan mendayung sampan; yang bodoh
akan arti hidup tidak akan tahu apa tujuan hidup; yang jahil tentang arti
ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini.
Akibatnya, aktivitas demi kepentingan pribadi (linnafsi), kehormatan diri (lil
jah), harta (lil mal) tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah, (Lillah).
Jika pendidikan kita benar-benar
menanamkan adab, mengapa peradaban Islam tidak kokoh berdiri. Mengapa kita
begitu gengsi pada hutang luar negeri, tapi bangga memungut konsep-konsep
pinjaman dari luar Islam. Mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep
asing dan tidak mampu membangun konsep sendiri?
Orang Barat begitu percaya diri
dengan konsep ciptaannya, tapi mengapa kita tidak. Cardinal John Newman,
misalnya, begitu yakin tentang gambaran universitas humanisme Kristen dalam The
Idea of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of
University tegas menggambarkan konsep universitas humanis-eksistensialis. J
Douglas Brown dalam The Liberal University-nya bisa menggambarkan dengan jelas
pelbagai peran universitas dalam mencetak “manusia sempurna” ala Barat. Tapi
mengapa identitas Islam pada universitas Muslim tidak nampak jelas. Mengapa
Muslim malu-malu memerankan universitas Islam dalam membangun peradaban Islam.
Universitas Islam harus berani
membangun konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, sains Islam,
budaya Islam dan sebagainya. Universitas Islam harus bisa mencerminkan bangunan
pandangan hidup Islam. Universitas Islam tidak hanya menjadi pusat pengembangan
ilmu, tapi juga merupakan sumber gerakan moral dan sosial serta agen perubahan.
Universitas harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil
dan beradab agar dapat membangun peradaban yang bermartabat. (***)
0 komentar:
Post a Comment