Esensi kewajiban zakat fitrah terletak pada nilai
atau ukuran (miqdaar) yang mesti dikeluarkan, bukan pada jenis
materinya. Penetapan nilai atau ukuran (miqdaar) wajib zakat fitrah
menggunakan dua bentuk bayaan (keterangan): bil qawl
(sabda) dan bil fi’l
(perbuatan).
Dalam menetapkan nilai atau ukuran zakat fitrah
diperoleh sabda Nabi saw. dalam beragam redaksi:
Pertama, menggunakan bentuk kata perintah (shigah
‘Amr) adduu (tunaikan) dan akhrijuu
(keluarkanlah). Kata adduu
(tunaikan) diterangkan oleh Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al-‘Udzriy
berikut ini: “Rasulullah saw. berkhutbah kepada
orang-orang dua hari sebelum Idul Fitri. Maka beliau bersabda, ‘Tunaikan satu
shaa’ burr (gandum) atau qamh (gandum) di antara dua perkara atau satu shaa’
kurma atau satu shaa’ dari syair (gandum) atas orang yang merdeka, hamba
sahaya, anak kecil, dan orang dewasa’.” HR. Ahmad, Ath-Thahawi,
Abdurrazaq, dan ad-Daraquthni dengan sedikit perbedaan redaksi. [1]
Dalam jalur periwayatan lainnya terdapat tambahan redaksi: “Kaya ataupun miskin. Adapun orang kaya di
antara kalian, maka Allah akan mensucikannya. Adapun orang miskin di antara
kalian, maka akan dikembalikan kepadanya dengan jumlah yang lebih banyak
daripada yang ia berikan.” HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Baihaqi,
Ad-Daraquthni, Ath-Thahawi, dan Ibnu Amr asy-Syaibani. Redaksi di atas versi
Ahmad. [2]
Sementara dengan kata akhrijuu (keluarkanlah)
diterangkan oleh Aws bin al-Hadatsan berikut ini: “Keluarkanlah zakat fitrah 1 shaa’ makanan.”
(Aws berkata), ‘Makanan kami ketika itu burr (gandum), tamr (kurma), dan Zabiib
(kismis/anggur kering)’.” HR. Ath-Thabrani dan Ibnu Amr asy-Syaibani. [3] Kata Ath-Thabrani, “Redaksi di atas versi
rawi Zaid bin Akhzam. Sedangkan versi rawi Sya’tsam: “Makanan kami ketika
itu tamr (kurma), Zabiib (kismis/anggur kering), dan aqith (susu kering/keju).”
[4]
menggunakan bentuk kata
wajib atau wajibah, sebagaimana diterangkan kakeknya ‘Amr bin
Syu’aib berikut ini: “Ketahuilah bahwa zakat fitri itu kewajiban
setiap muslim, laki-laki atau perempuan, orang yang merdeka atau hamba sahaya,
anak kecil atau orang dewasa, sebanyak dua mud qamh (gandum) atau satu shaa’
makanan selain qamh.” HR. At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, ad-Daraquthni, dan
al-Hakim, dengan sedikit perbedaan redaksi. [5]
Dari penggunaaan bentuk kata perintah (shigah
‘Amr) adduu (tunaikan) dan
akhrijuu (keluarkanlah)
serta kata wajib atau wajibah di
atas, Ibnu Umar, Abu Sa’id, dan Ibnu Abas meriwayatkannya secara hikayat sabda
Nabi saw. (hikaayah al-Qawl) dengan kata faradha
(memfardukan) dan amara (memerintah).
Hikayat sabda Nabi: faradha, disampaikan Ibnu Umar sebagai berikut: “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu
shaa’ kurma, atau satu shaa’ sya’iir (gandum) atas hamba sahaya, orang yang
merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin.”
HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad,
dengan sedikit perbedaan redaksi. [6]
Adapun hikayat sabda Nabi: Amara, disampaikan Ibnu Umar sebagai
berikut: “Nabi saw. memerintah zakat fitrah satu shaa’
kurma atau satu shaa’ sya’iir (gandum)” HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah.
[8]
Sedangkan keterangan Ibnu Abas dengan redaksi: “Kami diperintah untuk memberikan zakat
Ramadhan atas anak kecil dan orang dewasa, orang yang merdeka dan hamba sahaya,
sebesar satu shaa’ makanan.” HR. Al-Baihaqi. [9]
Selain dengan keterangan berupa sabda Nabi saw.
penetapan nilai atau ukuran zakat fitrah diperoleh pula dari amal Nabi saw.
sebagai berikut: “Rasulullah saw. mengeluarkan zakat fitrah satu
shaa’ kurma atau satu shaa’ syair (gandum)” HR. Abu Ya’la dan Ibnu Khuzaimah. [10]
Dalam menetapkan kewajiban zakat fitrah, Nabi
saw. menggunakan istilah shaa’. Shaa’ merupakan istilah yang sering
digunakan untuk menentukan ukuran isi atau volume, seperti liter, bukan satuan
ukuran berat/massa seperti kilogram (Kg). Ukuran isi tidak mengalami perubahan
walaupun benda yang ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang
sama isinya dengan 1 liter beras Cianjur, meskipun berbeda berat jenisnya.
Adapun shaa’ yang dimaksud pada hadis di
atas ialah shaa’ nabawi, yaitu shaa’ yang berlaku di
zaman Nabi saw. Bila objek kewajiban zakat fitrah itu berupa beras, lalu diukur
berdasarkan liter—yang pernah kami lakukan—dapat diperoleh hasil sebagai
berikut: 1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter. Berdasarkan ukuran
satuan isi, maka beras apapun yang dikonsumsi oleh wajib zakat (muzakki)
ukuran yang wajib dikeluarkannya akan sama.
Namun jika kewajiban zakat fitrah itu dikonversi
dengan satuan ukuran berat seperti kilogram (Kg) maka ukuran zakat fitrah tiap
muslim akan berbeda tergantung jenis beras atau makanan pokok yang dikonsumsi.
Silahkan dicek perbedaan hasil mengilo 1 liter beras Karawang dan 1 liter beras
Cianjur, misalnya. Begitu pula jika dikonversi dengan harga (qiimah).
Dalam konteks inilah kita dapat memahami mengapa
para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan konversi ukuran satu shaa’.
Adapun perbedaan itu dapat diuraikan sebagai berikut: Menurut satu pendapat, satu shaa’ nabawi
sebanding dengan 480 mitsqaal biji gandum yang bagus. Satu mitsqaal
sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal sebanding dengan 2040
gram. Berarti satu shaa’ sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. [11]
Sedangkan menurut pendapat Syaikh Abdullah
Al-Bassam, satu shaa’ nabawi adalah empat mud. Sementara satu mud
setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa’ nabawi sama dengan 3000
gram atau 3 Kg. [12] Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili,
1 mud itu sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’ sama dengan 2751 gram atau 2,75
Kg. [13]
Berdasarkan hasil konversi para ulama di atas,
kita dapat memperkirakan bahwa satu shaa’ kewajiban zakat fitrah
berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram (3 Kg). Meski dapat
diketahui nilai konversinya namun hal itu dipandang menjadi masalah, karena
Nabi saw. menetapkan ukuran wajib zakat fitrah itu dengan satuan isi (shaa’),
bukan satuan berat. Jadi, sahkah membayar zakat fitrah dengan satuan ukuran
lain, selain shaa’, seperti berat (Kg)? Bagaimana pula dengan harga
(uang)?
Konversi ukuran wajib zakat fitrah dengan satuan
ukuran lain, selain shaa’, juga dengan nilai atau harga pernah terjadi
pada zaman shahabat. Kata Ibnu Umar “Maka orang-orang membuat atau menetapkan
ukurannya sebanyak dua mud biji gandum.” HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah. [14]
Orang-orang yang dimaksud oleh Ibnu Umar adalah
Mu’awiyah dan para shahabat Nabi lainnya yang sependapat dengan beliau.
Mu’awiyah dan para shahabat Nabi lainnya beranggapan bahwa satu shaa’ tamr
(buah kurma) dan satu shaa’ sya’iir (gandum) senilai dengan dua
mud hinthah (biji gandum). [15] Padahal ulama sepakat bahwa konversi dua
mud hinthah hanya mencapai nilai ½ shaa’ tamr (buah
kurma) atau ½ shaa’ sya’iir (gandum). [16]
Jadi, yang hendak dikonversi oleh Mu’awiyah bukan
dari shaa’ kepada muud, karena keduanya sama-sama satuan
ukuran isi, melainkan nilai atau harganya. Latar belakang konversi Mu’awiyah
dijelaskan dalam beberapa riwayat, antara lain dari Abu Sa’id al-Khudriyyi
sebagai berikut: “Pada masa Rasulullah saw. kami hanya
mengeluarkan (zakat fitrah) 1 shaa’ tamr (buah kurma), atau 1 shaa’ sya’ir
(gandum), atau 1 shaa’ aqith (susu kering/keju), kami tidak mengeluarkan
selainnya. Maka ketika makanan melimpah pada zaman Mu’awiyah, mereka menetapkan
ukurannya sebanyak dua mud biji gandum.” HR. Ath-Thahawi. [17]
Keputusan Mu’awiyyah dan para sahabat lain yang
sepakat dengannya, dalam konversi ukuran wajib zakat dengan nilai/harga,
ternyata tidak disepakati sebagian shahabat lain, antara lain Abu Sa’id al-Khudriyyi
mengatakan: “Saya tidak akan mengeluarkan (zakat fitrah)
kecuali apa yang saya keluarkan pada masa Rasulullah saw. sebanyak 1 shaa’ tamr
(buah kurma), atau 1 shaa’ khinthah (biji gandum), atau 1 shaa’ sya’ir
(gandum), atau 1 shaa’ aqith (susu kering/keju).” Maka seseorang dari suatu
kaum berkata kepadanya, “Atau dua mud qamh (gandum).” Ia (Abu Sa’id) berkata,
“Tidak, itu standar nilai (qiimah) Mu’awiyah, saya tidak akan menerimanya dan
tidak akan menggunakannya.” HR. Ath-Thahawi, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi,
Al-Hakim, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzimah. [18]
Sehubungan dengan perbedaan sikap para shahabat
tentang konversi nilai atau harga “wajib zakat fitrah” maka Ibnu Hajar
berkomentar: “Namun hadis Abu Sa’id menunjukkan bahwa ia
tidak sepakat atas hal itu (konversi dengan harga), begitu pula Ibnu Umar. Maka
tentang masalah ini tidak tercipta ijma’ sahabat, berbeda dengan pandangan
ath-Thahawi. Dan segala sesuatu yang telah pasti disebutkan dalam hadis Abu
Sa’id, tatkala sama atau setara ukurannya dengan apa yang dikeluarkan, meski
berbeda nilainya, seakan-akan telah menunjukkan bahwa yang dimaksud hadis itu
adalah mengeluarkan ukuran wajib ini (1 shaa’) dari jenis makanan apapun, tidak
terdapat perbedaan antara hinthah dan lainnya. Ini argumen asy-Syafi’I dan
pengikutnya.”
“Adapun orang-orang yang menetapkan ukuran ½
shaa’, menggantikan 1 shaa’ sya’iir, sungguh ia berbuat demikian itu
berdasarkan ijtihad dengan pertimbangan bahwa makanan selain hinthah
bernilai/harga sama, sementara hinthah ketika itu mahal harganya (sehingga
dipandang setara dengan 1 shaa’ tamr atau 1 shaa’ sya’iir). Namun mesti
ditekankan pada pendapat mereka agar dipertimbangkan perubahan harga pada
setiap waktu, maka keadaannya akan berubah dan tidak baku, dan terkadang pada
sebagian keadaan mesti mengeluarkan beberapa shaa’ hinthah.”[19]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa
konversi wajib zakat fitrah dengan nilai atau harga memiliki akar pemikiran
Islam yang kokoh, paling tidak mengacu kepada sikap Mu’awiyah dan para sahabat
Nabi yang sejalan dengannya.
Meski
demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa pengamalan kewajiban zakat fitrah
berdasarkan satuan berat jenis memiliki “resiko hukum” bahwa ukuran zakat yang
dikeluarkan oleh wajib zakat (muzakki) pada hakikatnya tidak boleh sama,
tergantung jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing muzakki. Di
sinilah terkadang “neraca menjadi miring”, ketika membayar hak orang lain
digunakan beras “Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”,
misalnya. Karena itu, penetapan zakat fitrah sebesar 2,5 Kg merujuk kepada ghalib
atau kelaziman berat jenis beras yang rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas
masyarakat di lingkungan kita.
Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan
satuan harga (qiimah) juga memiliki “resiko hukum” bahwa ukuran zakat
yang dikeluarkan oleh wajib zakat (muzakki) pada hakikatnya tidak boleh sama,
tergantung harga jenis beras yang bersangkutan. Karena itu, berdasarkan
konversi qiimah, besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah
sesuai dengan perubahan harga yang berlaku saat itu.
[1]Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V:
432, No, Hadis 23.713, Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:45,
Abdurrazaq, Al-Mushannaf, III:318, No. Hadis 5785, ad-Daraquthni, Sunan
ad-Daraquthni, II:150, No. Hadis 52.
[2]Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V:
432, No, Hadis 23.714, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 114, No. Hadis,
1619, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 167, No. Hadis 7498,
Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 148, No. Hadis 39 dan 41,
Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:45, Ibnu Amr asy-Syaibani, Al-Ahad
wa al-Matsani, I: 452, No. Hadis 628.
[3]Lihat, HR. Ath-Thabrani, al-Mu’jam
al-Kabir, I: 224, No. hadis 613, Ibnu Amr asy-Syaibani, Al-Ahad wa
al-Matsani, III: 115, No. Hadis 1437.
[4]Lihat, al-Mu’jam al-Kabir, I: 224.
[5]Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III: 61,
No. Hadis 674, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 172, No. Hadis 7515,
ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II: 141, No. Hadis 17, dan
al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:569, No. Hadis 1492.
[6]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:547, No. hadis 1432; II:549, No. hadis 1440, Muslim, Shahih Muslim, II:677,
No. hadis 984, II:678, No. hadis 984, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:62,
No. Hadis 676, An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II: 26, No. Hadis 2284, Sunan
An-Nasai, V:47, No. Hadis 2500, V:48, No. Hadis 2503, V:49, No. Hadis 2505, Abu
Dawud, Sunan Abu Dawud, II:112, No. Hadis 1611, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
I:585, No. Hadis 1826, Ahmad, Musnad Ahmad, II:63, No. Hadis 5303.
[7]Lihat, As-Sunan al-Kubra, II: 27, No. Hadis
2290, Sunan An-Nasai, V:51, No. Hadis 2511
[8]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,
II:548, No. hadis 1436; Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 984, Ibnu
Majah, Sunan Ibnu Majah, I:584, No. Hadis 1825.
[9]Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV: 169,
No. Hadis 7503
[10]Lihat, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, X:203,
No. Hadis 5834, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 85, No. Hadis 2404.
[11]Lihat, Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad
al-Mustaqni’, karya Syekh Shalih al-Utsaimin, VI:176
[12]Lihat, Tawdhih Al-Ahkam Syarah
Bulughul Maram, III:178.
[13]Lihat, At-Tafsir al-Muniir, juz 2,
hlm. 141.
[14]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1436; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,
I: 584, No. Hadis 1825.
[15]Lihat, As-Sunan al-Kubra al-Baihaqi,
IV:168; Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 85
[16]Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih
al-Bukhari, V:142; Irsyad as-Sari Syarh Shahih al-Bukhari, III:87-88.
[17]Lihat, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:
42; Syarh Musykil al-Atsar, IX: 24.
[18]Lihat, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:
42, Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 145, No. Hadis 30;
Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 165, No. hadis 7491, Al-Hakim, al-Mustadrak
‘Ala ash-Shahihain, I: 570, No. hadis 1495, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu
Hiban, VIII:98, No. Hadis 3306, Ibnu Khuzimah, Shahih Ibnu Khuzimah,
IV:89, No. hadis 2419
[19]Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih
al-Bukhari, V:144.
0 komentar:
Post a Comment