Oleh:
Dr. Budi Handrianto
Pada umumnya, manusia
menganut agama agar hidup teratur dan tidak kacau. Dengan menganut agama, hidup
menjadi aman, tenang, tentram, damai, dan tidak kacau. Kalaupun ada peperangan
agama, pada dasarnya ingin menuju kedamaikan karena peperangan tersebut
dilakukan melawan kezaliman.
Terlebih lagi, agama
yang dianut manusia selain mengatur masalah kehidupan sehari-hari, juga
berkaitan dengan keyakinan atas sesuatu hal yang ghaib dan metafisik. Ia
berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu yang tinggi dan agung (supreme
being).
Dengan demikian, agama
menduduki tingkatan tertinggi dalam keyakinan seseorang terhadap segala
sesuatu. Menurut M Renville dalam bukunya Prolegomenes de l' histoire des
religions, sebagaimana dikutip Durkheim, agama merupakan daya penentu hidup
manusia, yaitu sebuah ikatan yang menyatukan pikiran manusia dengan pikiran
misterius yang menguasai dunia dan diri yang dia sadari dan dengan hal-hal yang
menimbulkan ketentraman bila terikat dengan hal tersebut (Emile Durkheim,
2003:56).
Durkheim sendiri
menyatakan, agama adalah ide tentang divinitas (ide of divinity). Dalam Islam,
ajaran agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia, agama diturunkan oleh
Sang Maha Pencipta untuk mengatur kehidupan manusia. Tujuan Tuhan menurunkan
agama agar manusia hidup bahagia baik di dunia maupun di alam baka, dan menjadi
Rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin) (QS al-Anbiya: 107).
Bahkan aturan-aturan
Tuhan yang diturunkan kepada manusia tersebut dimaksudkan (maqasid as-syar'i)
untuk menjaga keyakinan itu sendiri, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga
keturunan dan menjaga harta. Semuanya untuk kebaikan manusia.
Tuhan adalah pencipta
manusia dan alam semesta. Dialah yang paling mengetahui sifat dan karakter
ciptaan-Nya. Sebagaimana seorang teknisi pencipta gadget, ialah yang paling
tahu fitur-fitur apa saja yang dia ciptakan. Dialah yang paling tahu
fitur-fitur unggulan di dalam barang ciptaannya. Dia pulalah yang tahu jika ada
kerusakan di dalamnya dan bagaimana cara membetulkannya kembali. Dan dialah
yang mengerti kapan alat itu rusak dan tidak bisa diperbaiki dan mau tidak mau
harus dibuang.
Tuhan menurunkan agama
dengan mengutus seorang Nabi beserta kitab suci yang dibawanya. Kitab suci
itulah yang menyebutkan aturan-aturan kehidupan bagi manusia. Kitab suci dan
sabda Nabi itulah sebagai manual book atau guide book bagi manusia untuk
menjalani kehidupannya di dunia. Dengan mengikuti aturan-aturan tersebut, maka
manusia akan selamat di dunia maupun akhirat.
Sebagai Pencipta
manusia, Tuhan menurunkan aturan-aturan tersebut sesuai dengan fitrah dan akal
manusia. Artinya, Tuhan akan menaruh aturan-aturan tersebut pada tempat yang
menyuburkan fungsi-fungsi dari manusia. Ibarat pencipta gadget, ia memberikan fitur
yang mendukung pada gadget yang diciptakannya itu agar maksimal fungsi dan
penggunaannya.
Seksualitas
Dalam Islam
Masalah seksualitas
mendapatkan porsi pembahasan yang luas. Allah melarang manusia mendekati zina.
Manusia memang diciptakan dengan naluri dasar kecintaan kepada lawan jenisnya
(QS 3: 14).
Nikah adalah jalan yang
sah penyaluran hasrat seksual manusia. Nabi SAW pun menegaskan, nikah adalah
sunah beliau. Siapa yang benci sunah Nabi, maka ia bukan termasuk golongan
Nabi. Artinya, ia berada pada barisan sesat. Adalah teramat aneh, jika manusia
mengaku sebagai hamba Tuhan, tetapi justru menolak ketentuan Tuhan dalam urusan
seksualitas.
Sikap membangkang
kepada peraturan Tuhan ini telah dengan sempurna dicontohkan oleh iblis.
Logisnya, yang paling tahu dan paham apa yang ada pada diri manusia adalah
Tuhan, Sang Pencipta manusia itu sendiri. Aturan yang diturunkan-Nya kepada
manusia pastilah sebaik-baik aturan untuk menjaga kelangsungan kehidupan
manusia, baik individu, kelompok maupun masyarakat secara umum.
Peran agama adalah
menjaga kehormatan manusia berkaitan dengan masalah seksual. Imam as-Syatibi
menyebutkan, salah satu dari maqashid
as-syariah adalah "hifdzun nasl", menjaga keturunan. Para pejabat
muslim di Indonesia sepatutnya belajar dari bangsa-bangsa lain yang menganut
paham sekuler dalam urusan seksualitas.
Kini,
sejumlah negara menghadapi penyakit seksualitas yang tak bisa disembuhkan.
Bahkan, sebagian lagi – seperti Jerman, Italia, dan Jepang – telah mengalami
pertumbuhan penduduk yang minus. Dalam menurunkan
aturan-aturan-Nya, Allah SWT memberikan sebuah pedoman: siapa yang melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya maka ia akan
diberi pahala dan surga (reward system). Jika ia melanggar larangan-larangan-Nya
dan meninggalkan perintah-perintah-Nya maka ia mendapat dosa dan akan disiksa
di akhirat (punishment system).
Pandangan ini sangat
berbeda dengan pandangan sekuler yang hanya melihat aspek seksualitas hanya
sebatas aspek hasrat jasadiah dan duniawiah, seperti cara pandang binatang.
Karena begitu sakral aspek seksualitas, maka baik Alquran maupun Bibel
memberikan sanksi yang keras bagi kejahatan seksual, baik secara individual
maupun sosial.
"Apabila
perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah
menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri."
(HR Thabrani dan al Hakim).
Dalam Kitab Ulangan
22:20-22, disebutkan: "(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati
tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa
keluar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah
melempari dia dengan batu, sehingga mati, sebab dia telah menodai orang Israel
dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu
dari tengah-tengahmu. (22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang
perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang
telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau
hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel." (Teks Lembaga Alkitab
Indonesia tahun 2000).
Sebagai bangsa yang
mengaku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita berharap para anggota DPR
memahami usaha sekulerisasi konsep seksualitas yang disusupkan melalui naskah
RUU Pencegahan Kekerasan Seksual.
Pelaku zina, apalagi
pemerkosa, sudah sepatutnya dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Pemerkosa dan
pembunuh anak, sepatutnya dijatuhi hukuman mati. Tetapi, seorang istri yang
ikhlas berkorban untuk kebahagiaan suaminya, tidak bisa dikatakan, bahwa sang
istri itu diperkosa suaminya. Wallahu a'lam bisshawab. (***)
0 komentar:
Post a Comment