Oleh: Dr. Adian
Husaini
Pada 12 November 1957, dalam
pidato bersejaranhya tentang Islam dan sekularisme di Majelis Konstituante,
Mohammad Natsir mengajak bangsa Indonesia untuk meninggalkan paham sekuler dan
menjadikan agama sebagai dasar kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara.
"Apa itu sekularisme, tanpa agama, la-diiniyah?" tanya Mohammad
Natsir, dalam pidatonya.
Pertanyaan itu dijawab sendiri
oleh Natsir, seorang negarawan yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional:
"Sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan
sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum
sekularis tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak
mengenal akhirat, Tuhan, dan sebagainya."
Menurut Natsir, walaupun ada
kalanya kaum sekuler mengakui akan adanya Tuhan, dalam penghidupan perseorangan
sehari-hari umpamanya, seorang sekularis tidak menganggap perlu adanya hubungan
jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku, dan tindakan sehari-hari
maupun hubungan jiwa dalam arti doa dan ibadah.
"Seorang sekularis tidak
mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia
menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat
semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah
ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan kepada
kebahagiaan manusia dalam penghidupan saat ini belaka," demikian ungkap
Natsir.
Sekularisasi seksualitas
Penjelasan Natsir tentang bahaya
sekularisme bagi kehidupan bangsa Indonesia masih sangat relevan untuk
direnungkan. Pandangan kaum sekuler yang "emoh agama" atau "emoh
wahyu" dalam memahami dan memberikan solusi kehidupan masih senantiasa
bermunculan. Di antaranya adalah pandangan kaum sekuler tentang seksualitas.
Sebuah buku berjudul Jihad
Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober
2009), menulis: "Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin
--seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan
Pornoaksi--itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus
rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita
tangguh, apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah
bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ
tubuh yang lain. Agama semestinya "mengakomodasi" bukan
"mengeksekusi" fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat.
Ingatlah bahwa dosa bukan karena "daging yang kotor", melainkan
lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda."
Itu sekadar contoh cara pandang
sekuler terhadap soal seksualitas. Contoh lain yang lebih aktual kini
diwujudkan oleh sebagian aktivis gerakan perempuan dalam bentuk Naskah Akademik
serta Draft Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang
sudah diusulkan kepada DPR dan pemerintah. Merespons hal itu, pada akhir Mei
2016, sejumlah organisasi Islam perempuan yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga
(AILA) Indonesia menemui sejumlah Fraksi DPR RI.
Menurut AILA, naskah RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual itu secara filosofis sarat dengan makna
seksualitas yang diadopsi dari konsep seksualitas Barat yang liberal tanpa
kritik. Konsep seksualitas yang ditawarkan pun bersifat sangat individual dan
tidak menunjukkan relasi atau kaitannya dengan sistem keluarga. Karena
mengadopsi konsep Barat tersebut, konsep seksualitas yang ditawarkan menjadi
tidak sesuai dengan norma agama, budaya, dan norma lainnya di masyarakat
Indonesia.
Kepedulian AILA terhadap usulan
naskah RUU Pencegahan Kekerasan Seksual itu perlu diapresiasi. Sebab, ini
menyangkut soal moralitas yang sangat penting bagi ketahanan keluarga dan
bangsa. Sekularisasi nilai-nilai dan perilaku seksual memandang pemaksaan suami
terhadap istrinya dalam soal seksualitas sebagai satu bentuk kejahatan seksual.
Mereka menafikan aspek ibadah dan pengorbanan istri--jika istri melaksanakan
dengan terpaksa--demi kebahagiaan suaminya. Toh, dalam Islam, suami pun diminta
berlaku secara beradab terhadap istrinya, meskipun ia punya kekuasaan.
Nilai-nilai Ilahiyah, ubudiyah, dan ukhrawiyah itulah yang dibuang jauh-jauh
oleh kaum sekuler dalam persoalan hubungan suami-istri.
Maka, dalam soal seksualitas ini,
kiranya para elite negara ini mau mendengar suara bijak seorang Mohammad
Natsir, tentang bahaya sekularisasi nilai-nilai moral: "… dengan
menurunkan nulai-nilai adab dan kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam
pergolakan masyarakat, maka pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut
merosot. Dia merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu! Ia
menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tapi
sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah ciptaan manusia sendiri...."
Menurut Mohammad Natsir,
dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, agama masih lebih
dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi
masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak
melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Hal yang
menjadi soal, kata Natsir, adalah pertanyaan, "Di mana sumber
perikemanusiaan itu? Apa dasarnya?"
Paham sekularisme, tegas Natsir,
tidak mampu menyelesaikan pertentangan tentang konsep kemanusiaan. Sebab,
sekularisme pada hakikatnya merelatifkan semua pandangan-pandangan hidup. Ini
berbeda dengan agama, yang memberikan dasar yang terlepas dari relativisme.
"Inilah sebabnya mengapa
konsepsi humanity yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan
lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah.
Segala yang bergerak dan berubah harus memiliki dasar yang tetap, harus
mempunyai apa yang dinamakan point of reference, titik tempat memulangkan
segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap, niscaya krisis dan bencana
akan timbul…."
Demikian petikan pandangan
Mohammad Natsir tentang dampak buruk sekularisme dalam berbagai aspek, termasuk
moralitas. Semoga para petinggi negara bersedia memahaminya. (***)
0 komentar:
Post a Comment