Oleh: Dr Hamid Fahmy
Zarkasyi
Ketika saya berkunjung kembali ke
Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita menarik. Tiga orang
Professor menerbitkan hasil riset mereka. Mereka adalah Richard Lynn dari
Ulster University, Irlandia Utara, Helmuth Nyborg dari Universitas Aarhus,
Denmark dan John Harvey Sussex, Inggeris.
Riset itu meliputi 137 negara di
dunia, termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya mengkaji sebuah hypothesis
adanya korelasi negatif antara IQ dan Iman atau antara kecerdasan dan keimanan.
Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan
atheis.
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religious.
Lynn dkk mengaku bukan peneliti
pertama. Jauh sebelum itu Howells (1928) dan Sinclair (1928) sudah pernah
menguji hypothesa yang sama untuk mahasiswa. Demikian pula Argyle tahun 50 an
melakukan penelitian yang sama. Hasil yang mereka peroleh konon “mahasiswa
cerdas lebih sedikit kemungkinan menerima kepercayaan ortodoks dan cenderung
tidak mendukung sikap-sikap religius”.
Bukan hanya itu Verhage (1964)
dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat memperoleh hasil
serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan. Pertama ada
hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit
yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga,
dikalangan pelajar semakin berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan
mereka. Keempat, sepanjang abad dua puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas
diikuti oleh menurunnya keimanan.
Sebagai tambahan survey Verhage
terhadap 1538 sampel di Belanda (1964) menemukan bahwa agnostik dan ateis
rata-rata memiliki IQ 4 point lebih tinggi dari orang beriman.
Setelah proses browsing di dunia
maya, saya memperoleh beberapa data hasil penelitian tersebut. Untuk mengukur
kecerdasan Lynn dkk memakai variable test IQ, sedangkan untuk keimanan atau
religiusitas diukur dari prosentasi penganut ateisme.
Maka dari itu Lynn dkk membuat
table yang mencantumkan tingkat IQ penduduk dari 137 negara tersebut dan
prosentase penganut ateismenya. Di Jepang IQ penduduknya tinggi (102) dan
penganut atheismnyua juga tinggi (65%). Demikian pula Israel (IQ 95-Atheis
15%), Hungary (IQ 98-Atheis 32%), Lithuania (IQ 91-Atheis 13%), Latvia (IQ
98-Atheis 20%); Kazkhstan (IQ 94 –Atheis 12%), Singapore (IQ 108-Atheis 13%),
Vietnam (IQ 94-atheis 81%). Data-data Negara-negara itu semua mendukung
hypothesis diatas. Negara yang IQ penduduknya tinggi jumlah penganut ateismenya
juga tinggi.
Lynn juga mengemukakan table
Negara-negara dengan IQ tinggi diatas 94 seperti Belgia (99), Ceko (98),
Denmark (98), Estonia (99), Inggeris (100), Jepang (105), Jerman 99), Perancis
98), Swedia (99) dan Vietnam (94). Table itu kemudian disertai prosentase
penganut atheism yang terbukti memang tinggi,yaitu diatas 40%.
Tapi masalahnya apakah korelasi
itu betul-betul menunjukkan kausalitas. Apakah tingginya IQ di Ceko penyebab
besarnya penganut ateisme (61%). Apakah orang menjadi komunis dan ateis karena
semakin cerdas? Apakah ateisme disana bukan karena tersebarnya faham komunisme?
Inilah poin yang tidak bisa dijelaskan oleh penelitian tersebut.
Demikian pula korelasi negatif
itu tidak bisa menjelaskan kondisi negara Vietnam yang IQ nya lebih rendah dari
Singapore tapi penganut atheismenya lebih tinggi (81%). Lebih-lebih untuk kasus
Negara-negara lain. Di Irlandia misalnya IQ pendudukanya 92 tapi prosentasi
penganut atheisnya hanya 5% saja.
Malaysia yang tercatat IQ
penduduknya sama dengan Irlandia (92) tapi prosentase penganut atheisnya lebih
kecil yaitu hanya 0.5%. Demikian pula Brueni (IQ 91-Atheis 0.5%), Thailand (IQ
91-Atheis 0.5%), dan Indonesia (IQ 87-Atheis 1.5%). Di negeri ASEAN kita justru
bisa melihat fenomena orang-orang terpelajar yang cerdas-cerdas dan sukes dalam
berkarir bukanlah orang-orang yang ateis atau rendah iman mereka.
Jadi penelitian ini mengandung
dua masalah penting yaitu konsep dan metodologi. Secara konseptual orang tahu,
kesimpulan sebuah penelitian kuantitatif berasal dari sebuah hypothesa.
Hypothesa berasal dari cara pandang yang dipengaruhi worldview penelitinya.
Latar belakang agama, budaya, ras dan kepercayaan termasuk disitu. Orang yang
membuat penelitian tentang “Kepuasan Palanggan Komplek Prostitusi”, misalnya
beda worldview nya dari orang yang meneliti tentang “Perbandingan Efektifitas
Pendidikan Agama di Sekolah dan di Rumah”.
Worldview apapun sebenarnya
berperan dalam cara berfikir seseorang, termasuk dalam kegiatan keilmuan atau
menyusun desain penelitian (lihat Alparslan Ackgence, Islamic Science Towards
Definition). Worldview peneliti di Barat pada umumnya adalah saintifik
sekularistik atau setidaknya melihat segala sesuatu secara dichotomik. Artinya
agama tidak lagi ada kaitannya dengan kegiatan kehidupan sehari-hari.
Situasi sosialnya memang
demikian. Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di Barat agama menjadi
tidak “laku” di masyarakat. Yang fenomenal banyak gereja yang kosong. Para
pengurus gerejanya, mungkin, sudah putus asa, karena sepi jemaat. Jumlah jemaat
gereja kalah banyak dibanding “jama’at” yang antri masuk bar. Gereja sebagai
symbol keberagamaan dan keimanan sudah tidak banyak ditinggalkan.
Di Manchester terdapat nama
gereja yang aneh, yaitu “A Church for those who don’t like to go to church”
(Gereja untuk yang tidak suka pergi ke gereja). Di sana sinagog telah menjadi
Jewish Museum. Bahkan Masjid Besar di Manchester masih mempertahankan tanda
salib dan altar gereja. Gereja di daerah Aston dan City Center Bullring
Birmingham sudah menjadi sarang burung dara. Gereja di Stratford Road Camp Hill
Birmingham telah berubah menjadi Masjid Muath.
Itulah arti keluh kesah orang
Barat yang masih obyektif “spirituality has gone to the east”. Persis seperti
kata Prof.David Thomas, dosen teologi di universitas Birmingham, “West
developed without Christianity”. Itulah setting sosial yang melahirkan
hypothesis dan juga variable penelitian ini. Kalau kita boleh menyimpulkan
semakin sekuler orang Barat itu maka semakin rendah kecerdasan
spiritualitasnya.
Jika para peneliti berangkat dari
situasi seperti diatas maka konsep religiusitas atau keimanan dalam penelitian
ini bermasalah. Istilah religion, seperti kesimpulan W.Cantwell Smith tidak
pernah definitif. Maka istilah religiusitas yang diambil dari konsep religion
pun pasti kabur.
Jika makna religiusitas dan
keimanan kabur maka variable pengukur keimanannya bermasalah. Keimanan atau
religiusitas di Barat umumnya diukur dari frekuensi pergi ke gereja. Emanuel
Kant mengaku tidak religious karena seumur hidupnya hanya sekali pergi ke
gereja.
Tapi Kanazawa (2009) tidak
mengukur dari situ. Ia mengukur keimanan atau religiusitas 14.277 remaja di
Amerika Serikat hanya dengan pertanyaan: Apakah anda orang yang beriman?
Jawabannya disusun menjadi 1) sangat beriman, 2) beriman, 3) tidak beriman dan
4) sangat tidak beriman. Apa yang diperoleh itu memang remaja yang menjawab
sangat tidak beriman memiliki IQ tertinggi yaitu 103,09. Sementara yang
mengatakan tidak beriman 99,34; yang mengatakan beriman 98,28 dan yang
mengatakan sangat beriman 97,14.
Jadi kekaburan makna religion,
dan juga keimanan menjadikan variable-nya bermasalah. Maka wajar jika
metodologi untuk mengorek keimanan sungguh sangat superfisial. Bisa dibayangkan
remaja yang tidak pernah tersentuh oleh masalah agama tiba-tiba ditanya
keimanan. Tentu ia akan menjawab sekenanya. Akan tetapi apakah terdapat
korelasi negatif bahwa semakin cerdas seseorang itu semakin tidak religius,
tidak bisa dibuktikan.
Selain religiositas, makna IQ dan
kecerdasan dapat pula dipertanyakan. Test IQ bisa saja mejadi ukuran. Tapi
dalam kehidupan ini IQ saja tidak menentukan banyak hal. Faktor lain yang
disebut kecerdasan spiritual (Spiritual Quotion) juga bisa jadi faktor penting.
Meskipun demikian kecerdasan spiritual satu agama bisa beda variable-nya dari
agama dan kepercayaan lain.
Pertanyaan mengapa orang Barat
umumnya cerdas? Jawabnya karena banyak kemudahan, kemakmuran dan kualitas
pendidikan yang tinggi. Tapi mengapa orang Barat banyak yang ateis? Jawabnya
bukan karena mereka itu cerdas, tapi lebih karena agama disana sengaja di
marginalkan dan disingkirkan dari ruang publik bahkan dari sains.
Mungkin juga jawabannya karena
agama (terutama agama Kristen & Yahudi) di Barat tidak mampu menjelaskan
hal-hal yang saintifik tentang alam, manusia dan Tuhan. Worldview yang
empirisistik dan rasionalistis tidak bisa menjelaskan agama yang metafisis dan
agama yang metafisis tidak mampu menjelaskan itu semua secara saintifik. Wajar
jika kemudian para saintis meninggalkan penjelasan teologi dan hanya bersandar
pada akal.
Pertanyaan serupa dapat diajukan
kepada penduduk Negara yang IQ nya rendah. Mereka tidak cerdas karena banyak
hal. Lynn dkk, menemukan sebabnya karena kemiskinan, sedikitnya kota besar,
pendidikan bermutu rendah, kurang media elektronik, banyak wabah penyakit,
kesehatan bayi yang rendah, gizi yang buruk, tidak mampu mengatasi polusi dsb.
Tapi apakah kurang cerdas itu menjadikan mereka religius atau sebaliknya karena
mereka religius maka mereka menjadi tidak cerdas? Barber, peneliti lain
meragukan adanya korelasi ini.
Jadi apa yang dianggap korelasi
disini bisa jadi sekedar sesuatu yang terjadi secara simultan. Dalam bahasa
awam terjadi secara kebetulan. Jika demikian maka kita juga bisa membuat
hypothesa korelasi positif. Hypthesisnya misalnya begini: semakin banyak
penduduk yang beriman dan berislam, semakin besar sumber minyak atau sumber
alamnya di negeri itu.
Faktanya memang 63% cadangan
minyak dan gas dunia, 70% hasil karet dunia, 65% cadangan timah dunia, 70%
cadangan posfat dunia, 65% cadangan timah dunia, dan lain sebagainya ada
dinegeri-negeri Islam.
Jika di Barat IQ tinggi cenderung
ateis, bagaimana Lynn membaca fenomena di dunia Islam saat ini bahwa semakin
cerdas dan semakin kaya seorang Muslim semakin dekat dengan Tuhannya alias
semakin tinggi keimanannya.
Dalam Islam variable keimanan
bukan sebatas pernyataan, tapi juga realisasinya dalam bentuk aksi atau amal.
Amal menyangkut perilaku baik buruk alias akhlaq. Jika dijabarkan maknanya
masing-masing akan sangat luas dan kompleks. Maka jika harus diteliti variable
keimanan dalam Islam akan sangat kompleks. Itupun baru dapat diungkap
sebagiannya.
Rasanya bukan utopia jika kita
dapati di negeri-negeri Muslim sosok seperti ini. Seorang Muslim yang cerdas
dengan IQ tinggi. Ia sukses menjadi pengusaha yang kaya. Pakaiannya berjas
berdasi tidak seperti layaknya ulama, tapi tetap menjaga kesuciannya.
Fikirannya terfokus pada bidang-bidang usaha, tapi hatinya selalu ingat
kepadaNya. Waktunya khusus untuk berdagang, tapi shalat 5 waktunya tertib
ditambah rawatib tanpa berselang.
Kekayaan perusahaannya sudah tak
terhingga, ia tidak lupa berderma dan hukum halal-haram tetap ditaatitnya.
Meski dunia bisnis adalah dunia yang yang penuh tipu daya, ia tetap berkata apa
adanya. Meski dikiri kanannya penuh godaan maksiat, ia tetap selamat. Bukankah
ini yang oleh Rasulullah dinamakan al-Kaisu,
yaitu orang cerdas yang beramal di dunia tapi sekaligus untuk akheratnya.
0 komentar:
Post a Comment