Oleh: Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi
Salah satu misi mengapa Allah
mengutus para Rasul adalah untuk pensucian diri atau “tazkiyatunnafs” (QS. Al-Jum’ah 2). Mengapa diri manusia
harus disucikan? Alasannya sesuai dengan watak jiwa manusia yang diciptakan
dengan sebaik-baik ciptaan. Namun manusia diberi potensi untuk berbuat kebaikan
(taqwa) dan kejahatan (fujur) ” (QS. Al-Shams 7-8). Maka dari itu manusia tidak
luput dari berbuat salah dan dosa, sekecil apapun. Itu semua bisa terjadi
ribuan kali dalam sehari semalam.
Tapi seorang Muslim tidak perlu khawatir. Islam memberi jalan atau cara
atau alat untuk menghapus dosa-dosa kecil itu. Jalan atau cara penghapusan
dosa-dosa itu adalah syariah. Syariah dalam arti luas mengandung aqidah,
hukum-hukum, akhlaq dsb.
Maka dari itu para ulama sepakat
bahwa “Setiap syariat Islam memiliki tujuan dan mengandung maslahat”. Tujuannya
beribadah kepada Allah dan maslahatnya adalah kembali kepada kepentingan jiwa
manusia.
Syariat Islam yang utama memiliki
lima rukun. Hikmah dari perintah menjalankan rukun Islam yang lima itu ternyata
adalah pensucian diri. Diri yang suci adalah yang bebas dari dosa-dosa. Orang
yang berkata “La ilaha illallah” akan dihapus dosa-dosanya. Syariat shalat lima
waktu, puasa dibulan Ramadhan, zakat dan haji adalah alat penghapus dosa-dosa
alias alat pensucian diri.
Shalat adalah ibarat kerja
bersih-bersih yang rutin setiap hari. Sebab seperti rumah, kamar atau kantor
dsb., jika lama tidak dibersihkan tentu akan banyak debu dan kotoran. Jiwa manusia
Maka yang selalu menimbun kotoran dosa-dosa kecil perlu dibersihkan setiap
hari, dan itulah fungsi shalat. Nabi bersabda:”sesungguhnya shalat lima waktu itu menghilangkan dosa-dosa
sebagaimana air sungai menghilangkan kotoran dalam tubuh kalian” (al-hadith)
Shalat adalah juga merupakan
proses untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Maka siapapun yang selalu
bersuci dan mendekatkan diri pada Yang Maha Suci Allah maka jiwanya akan
menjadi bersih. Jiwa yang bersih akan menghasilkan perbuatan yang baik. Maka
shalat pun menjadi standar amal seseorang.
“…..Jika baik shalatnya maka baik pula seluruh amalnya, namun jika
rusak shalatnya maka rusak pulalah seluruh amalnya. (H.R. Tabrani)
Begitulah, berislam dengan
melakukan shalat adalah pensucian diri. Namun jika shalat lima waktu tidak
cukup efektif menghapus dosa-dosa seseorang dalam sehari semalam, maka Allah
memberi alat satu lagi yaitu shalat Jum’at sebagai menghapus dosa-dosa selama
seminggu. Namun jika shalat Jum’at juga tidak efektif, karena keteledoran
manusia pula, sehingga dosa-dosa kecil itu berakumulasi dalam masa satu tahun
menjadi jutaan jumlahnya, Islam masih memberi jalan lain yaitu dengan berpuasa.
Dalam hadith Nabi diterangkan
Shalat lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at, dari Ramadhan ke Ramadhan
adalah penghapus dosa-dosa kecil (yang terjadi) diantara waktu-waktu itu selama
tidak melakukan dosa-dosa besar. (HR. Muslim)
Puasa juga dapat disebut sebagai
pembersih diri atau zakat diri. Jika harta seseorang yang mencapai nisab wajib
dizakati, maka badan manusia juga perlu dizakati. Ini dengan secara gamblang
disampaikan oleh Nabi:
Segala sesuatu itu ada zakatnya dan zakat badan itu adalah puasa, dan
puasa asalah separoh dari kesabaran (HR. Bukhari)
Dengan berpuasa seorang Muslim
sedang mengosongkan dirinya dari kecenderungan fisik manusia yang umumnya
didominasi oleh nafsu hewani (nafsu-l-ammarah
bissu’). Dengan memberhentikan makan dan minum dalam sehari maka kekuatan
fisiknya akan melemah dan diikuti oleh melemahnya dorongan jiwa hewani
tersebut. Ketika jiwa hewani melemah maka jiwa yang tenang (nafs al-mutma’innah) akan menguat dan
dominan. Dalam teori al-Ghazzali ketika dorongan fisik seseorang dipenuhi oleh
nafsu hewani diganti atau dikuasai oleh akalnya atau oleh jiwanya yang tenang,
maka manusia akan melakukan tindakan-tindakan yang positif.
Meski pembersihan badan berdampak
pada jiwa manusia, puasa ternyata bukan pembersihan badan saja. Berpuasa tidak
cukup hanya dengan meninggalkan makan minum di siang hari.Puasa juga puasa
batin. Puasa batin adalah puasa mulut dari perkataan kotor, puasa mata dari
melihat sesuatu yang haram, puasa hati dengan menahan diri dari rasa marah,
dari nafsu syahwat, puasa telinga dengan menahan diri dari mendengar sesuatu
yang diharamkan dan lain sebagainya. Jadi karena jiwa dan raga manusia itu
saling berhubungan maka kesucian jasmani harus disertai kesucian rohani.
Dosa-dosa jasmani harus disucikan secara serentak dengan dosa-dosa rohani.
Orang yang berpuasa tapi “tidak bisa meninggalkan diri dari ucapan
palsu (jelek) dan tetap mengerjakannya, maka puasanya itu tidak berguna bagi
Allah” (HR Bukhari – Muslim). Itulah sebabnya sejak awal Nabi telah
mewanti-wanti “Banyak orang yang berpuasa
tidak mendapatkan pahala kecuali lapar, dan banyak orang yang shalat (malam)
tidak mendapat pahalanya kecuali berjaga” (HR Al Hakim).
Meskipun jiwa manusia disucikan
dengan shalat dan puasa, namun Islam masih menyediakan alat pensucian lagi
yaitu zakat, infaq dan shadaqah. Zakat adalah pensucian diri manusia melalui
harta bendanya. Meski tidak berkatian langsung dengan jiwa manusia, namun
tanggung jawab dan keikhlasan memberi atau mengeluarkan zakat itu sungguh
berpengaruh pada jiwa pemberinya.
Hadith-hadith Nabi jelas-jelas
menyatakan bahwa shadaqah ternyata juga pemadam api kekhilafan dan dosa manusia
sebagaimana air mematikan api. Dan terakhir adalah haji. Di dalam penjelasan
Nabi pula haji mabrur berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa. Saking bersihnya
dosa-dosa yang berhaji mabrur itu maka jiwanya sama seperti hari diwaktu ia
dilahirkan.
Begitulah, berislam dengan
menjalankan syariatnya bermuara pada tazkiyatunnafsi
(pensucian diri). Dengan dosa yang terhapus jiwa menjadi jernih, hati menjadi
tenang, kesulitan hidup menjadi kemudahan, pikiran menjadi positif. Al-Qur’an
memberi kabar baik “Beruntunglah orang
yang membersihkan diri dan mengingat asma Tuhannya dan shalat. (QS al-A’la
14-15). Dan Nabi mengajari kita doa “Ya
Allah berilah aku rezeki hati yang bersih, dan lidah yang jujur”.
0 komentar:
Post a Comment