Ilmu agama tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku atau kitab.
Akan tetapi harus talaqqi, belajar secara langsung kepada para ulama
yang dipercaya. Hal ini seperti yang menjadi tradisi di dunia pesantren.
Al-Hafizh Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi berkata:
لا يؤخذ العلم إلا من أفواه العلماء
Ilmu tidak dapat diperoleh kecuali dari lidah para ulama.
Sebagian ulama salaf berkata:
الذي يأخذ الحديث من الكتب يسمى صحفيا، والذي يأخذ القرآن من المصحف يسمى مصحفيا ولا يسمى قارئا
Orang yang memperoleh hadits dari buku (tanpa berguru) disebut
shahafi (pembuka buku). Orang yang mengambil al-Quran dari mushaf,
disebut mushafi (pembuka mushaf), dan tidak disebut qari' (pembaca
al-Quran).
Mengapa dalam ilmu agama harus belajar melalui seorang guru, dan tidak
cukup secara otodidak? Hal ini didasarkan pada hadits-hadits berikut
ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يا أيها الناس تعلموا فإنما العلم بالتعلم والفقه بالتفقه
"Wahai manusia, belajarlah ilmu. Karena sesungguhnya ilmu hanya
diperoleh dengan belajar dan pengetahuan agama hanya diperoleh dengan
belajar melalui guru. (Hadits hasan).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
"Barangsiapa berpendapat
mengenai al-Quran dengan pendapatnya sendiri, lalu pendapat itu benar,
maka ia telah benar-benar keliru".
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
"Barangsiapa yang berpendapat mengenai al-Quran dengan pendapatnya,
maka bersiaplah menempati tempatnya di neraka". (Hadits shahih).
Hadits-hadits di atas memberikan pengertian keharusan berguru dalam ilmu
agama. Bukan dipelajari secara otodidak dari buku dan Google.
Berdasarkan paparan di atas, orang yang belajar ilmu agama secara
otodidak atau belajar kepada kaum orientalis tidak bisa dikatakan
sebagai orang yang alim, akan tetapi disebut sebagai bahits, peneliti
dan pengkaji. Orang semacam ini tidak boleh menjadi rujukan dalam agama.
Wallahu a'lam
0 komentar:
Post a Comment