Jakarta - Indonesia memiliki
tempat tersendiri di benak Muhammad Ali. "Meski hampir 40 tahun berselang
sejak saya dan Rudi Lubbers bertarung di Jakarta, saya sering memikirkan dan
mendoakan semua saudara saya di Indonesia," ujarnya lewat surat elektronik
yang dimuat dalam Majalah Tempo pada 30 Januari 2012.
Ali pertama kali menjejakkan kaki
di Indonesia pada Oktober 1973 untuk menghadapi petinju Belanda, Lubbers. Waktu
itu lapangan bola dan jalur lari Stadion Utama Senayan disulap jadi ring dan
area pinggir ring dengan kapasitas 19 ribu penonton. Karcis mulai harga Rp
6.000 sampai Rp 27 ribu ludes. Setelah pensiun, dia beberapa kali ke Indonesia,
terakhir pada 1996.
Indonesia adalah satu dari
sederet negara yang dia kunjungi dalam misi kemanusiaan. Sejak gantung sarung
tinju, Ali memilih berkeliling dunia memberikan bantuan kemanusiaan, menemani
korban bencana, hingga membantu membebaskan tawanan. Saat Perang Teluk I
meletus pada 1990, misalnya, Ali terbang ke Irak guna membujuk Presiden Saddam
Hussein membebaskan tawanan Amerika Serikat.
Situs Ali mencatat, dia telah
membagikan 232 juta paket makanan di berbagai lokasi kelaparan dunia. Mulai
tunawisma di New York, Afrika, sampai Kuba, yang diembargo oleh Amerika.
"Kalau ada orang yang mau memberikan uang terakhirnya di dompet, dia
adalah Muhammad," kata Howard Bingham, karib sekaligus penulis biografi
Ali.
Pada Maret 2012, Ia menghimpun
pemimpin komunitas muslim Amerika dan menyurati pemimpin spiritual Iran,
Ayatullah Ali Khameini, agar membebaskan dua warga Amerika yang mereka tahan
sejak 2009. Iran menuding Shane Bauer dan Josh Fattal, yang ditangkap saat
mendaki gunung, sebagai mata-mata. "Tolong tunjukkan kepada dunia welas
asih yang ada di hatimu," katanya dalam surat itu. Lima bulan kemudian,
keduanya dibebaskan.
Sepak terjangnya itu mendulang
seabrek penghargaan. Di antaranya Duta Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa,
yang dia terima dari Kofi Annan pada 1998, dan Medal of Freedom, penghargaan
sipil tertinggi Amerika Serikat, dari Presiden George W. Bush pada 2005. Ali
juga masuk nominasi peraih Nobel Perdamaian 2007. Deretan penghargaan itu
tersimpan di Ali Center, gedung seluas hampir 9.000 meter persegi, yang
menjulang megah setinggi enam lantai di jantung Louisville, Kentucky, kota
kelahirannya.
Berdiri sejak 2005, tempat ini
adalah impian Ali. Selain menjadi tempat penyimpanan benda-benda kenangan
selama karier tinjunya, gedung itu memampangkan 5.000 gambar karya anak dari
141 negara, yang berisi harapan dan mimpi mereka. Ali Center juga berperan
sebagai pusat promosi agama.
Ada juga program Taman
Perdamaian, yang memberi bantuan sampai Rp 900 juta selama empat tahun bagi
tiap sekolah di negara terbelakang di seluruh dunia untuk membangun kebun.
Panduan berkebun disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi di tiap negara.
Tak cuma Ali Center, University
of Louisville juga memberi ruang khusus buat Ali. Universitas ini membuka
program beasiswa Ali Scholars Program. Dalam program ini, selama dua tahun
mahasiswa mendapat pelatihan tentang pencegahan kekerasan dan keadilan sosial
di perkotaan.
Di antara semua mimpi akan
perdamaian dunia itu, Indonesia terselip di sudut memori Ali. Parkinson,
penyakit yang menyerang sistem saraf sentral, tidak menghalangi minatnya untuk
mengikuti perkembangan di Indonesia. "Beberapa tahun ini, Anda semua
menderita akibat bencana alam yang sedemikian kuatnya, sehingga perhatian dunia
terfokus ke negeri yang indah itu," ujarnya.
"Namun Anda semua
menunjukkan semangat dan cinta yang lebih besar dari bencana itu," kata
Ali. "Hal itu membuat saya tenang, sembari terus mendoakan keselamatan
Anda semua. Assalamualaikum."
Reza Maulana, Victoria Sidjabat
(Louisville)
Dari Rubrik Intermezzo majalah
Tempo edisi 30 Januari 2012. TEMPO.CO
0 komentar:
Post a Comment