Pada 13 Juli 1945
dimulai Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) guna
mendengarkan laporan dan mengesahkan hasil kerja Panitia Perancang
Undang-Undang Dasar. Rapat berlangsung maraton dari 13 sampai 16 Juli, sejak
pagi hingga hampir tengah malam.
Selaku ketua Panitia
Perancang UUD, Ir Sukarno melaporkan hasil kerjanya kepada Rapat Besar berupa
Rencana Pernyataan Kemerdekaan yang merupakan cikal bakal Pembukaan UUD.
Betapa pun Sukarno
meyakinkan peserta rapat Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (BPUPKI) agar menerima
hasil kerja Panitia Perancang Sembilan Orang (kemudian dikenal sebagai Panitia
Sembilan) sebagai kompromi terbaik antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan,
pro-kontra tetap muncul juga.
Keberatan muncul
terutama terhadap rumusan: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.
Wahid Hasyim Menolak Lobi Latuharhary Soal Penghapusan
'Tujuh Kata' di Piagam Jakarta
Mula-mula,
Latuharhary dan kawan-kawan menyatakan keberatan atas rumusan tersebut. Keberatan Latuharhary dijawab oleh H Agus Salim dan KH Abdul Wahid Hasjim.
Kepada Latuharhary dan pihak-pihak lain yang keberatan, Kiai A Wahid Hasjim
mengatakan, "Inilah rumusan hasil kompromi yang bisa dicapai."
Menurut
putra Hadratus Syekh KH M Hasjim Asy'ari itu, jika ada yang menyebut rumusan
"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" terlalu tajam, ada juga yang berpendapat sebaliknya,
terlalu tumpul. Bahkan, ada yang bertanya kepada Kiai Wahid, "Apakah
dengan rumusan lunak seperti itu orang Islam sudah boleh berjuang menceburkan
jiwanya untuk negara Indonesia yang akan didirikan ini?"
Jika
Latuharhary dan kawan-kawan keberatan dengan keseluruhan rumusan, Ketua
Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo hanya meminta agar kalimat "bagi
pemeluk-pemeluknya" dihapus sehingga sila pertama rumusan Piagam Jakarta
22 Juni 1945 berbunyi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam."
Demikian kerasnya perdebatan, KH Abdul Kahar
Moedzakkir yang mendukung Ki Bagus sampai harus memukul meja. Ki Bagus sendiri
bahkan memulai salah satu pembicaraannya dengan kata-kata: "Saya
berlindung kepada Allah terhadap syetan yang merusak." Ketua rapat, Dr KRT
Radjiman Wedyodiningrat, menawarkan pemungutan suara untuk menghindari
kemacetan persidangan.
Di tengah suasana rapat besar BPUPK yang makin
panas dan menunjukkan tanda-tanda bakal berujung di jalan buntu, Ajengan Ahmad
Sanusi (1888-1954) dari Sukabumi tampil bijak. Seraya menolak voting
yang ditawarkan Radjiman, pendiri Persatuan Ummat Islam (PUI) itu meminta
dengan sungguh-sungguh "supaya permusyawaratan berjalan tenang, dengan
memancarkan pikiran ke sebelah kanan dan ke kiri, ke luar dan kembali".
Sanusi mengingatkan agar rapat BPUPK jangan
mengambil keputusan dengan tergopoh-gopoh.
Jasa Ajengan Sanusi yang Terlupakan
Sesudah mengingatkan peserta rapat Dokuritsu
Zjunbi Tjoosakai agar berlindung kepada Tuhan masing-masing, Sanusi mengusulkan
kepada ketua rapat agar suasana rapat didinginkan dulu. Usul Sanusi segera
ditangkap oleh Radjiman. Rapat BPUPK malam itu pun ditunda sampai besok pagi.
Sesudah rapat ditunda sesuai saran Sanusi, malam
itu Ketua Panitia Sembilan bergerilya melakukan pendekatan kepada para anggota
BPUPK dari kedua kalangan: Islam dan kebangsaan. Dengan pendekatan yang
dilakukan Bung Karno hingga "hampir datang waktu subuh".
Hasil kerja Panitia Sembilan pun keesokan harinya
diterima oleh rapat besar Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai. "Dengan suara bulat
diterima Undang-Undang Dasar ini," ujar Radjiman Wedyodiningrat seraya
mengetukkan palu.
Jasa Ajengan Sanusi mendinginkan suasana, dengan
interupsinya yang jernih, niscaya tidak mungkin dicoret dari sejarah. Sejarah
memang tidak boleh diandaikan. Akan tetapi, tanpa interupsi Ajengan Sanusi,
rapat besar BPUPK bisa berakhir tanpa menghasilkan UUD.
Masih adakah yang mengingat Ajengan Sanusi, sang penyelamat sidang BPUPK? REPUBLIKA.CO.ID
Masih adakah yang mengingat Ajengan Sanusi, sang penyelamat sidang BPUPK? REPUBLIKA.CO.ID
0 komentar:
Post a Comment